dalam ilmu fiqih i tidal adalah
n Zakat Fitrah adalah satu SHO’ 2.719,19 Grm = 2,71919 Kg. o Jarak Qosor Sholat menurut: – Kitab Tanwirul Qulub 80,640 Km – Al-Ma`Mun 89,999992 Km – Ahmad Husain 94,500 Km-Aksarul Fuqha 119,99988 Km – Hanafiyyah 96 km – Kitab Fiqh al-Islâmy 88, 74 km – Versi Imam Ahmad Husain al-Mishry 94, 5 km. p.Mîl al-Hâsyimy:
Adapunilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa daripada rasio. Ilmu tasawuf bersifat sangat subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Sebagian sehingga kesalahan dalam penalaran bisa terhindari.13 I‟tidal mempunyai arti tegak, lepas dari penyimpangan ke kanan dan ke kiri, dan tidak condong pada kehendak
MemahamiMakna “Moderat” dalam Islam. Berbagai rangkaian peristiwa belakangan ini mengingatkan kita pada tahun 2001 silam, pasca peristiwa meletusnya WTC di Amerika Serikat. Setelah peristiwa itu, AS melancarkan perang terhadap terorisme secara khusus, dan Islam radikal atau garis keras secara umum. Dan, tak cukup sampai di situ, AS
IstilahAbu Ishaq dalam literatur kitab fiqh syafi’i merujuk kepada sosok Imam Abu Ishaq al-marwazi.Nama lengkapnya Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad al-Marwazi.Salah seorang imam mazhab syafi’i.Beliau mengambil fiqh dari ‘Abdan al-Marwazi dan Ibn Suraikh al-Isthakhori.Beliau ditahbiskan sebagai pemimpin mazhab Syafi’i pada zamannya.Diantara
Fakhruddin ar-Razi adalah imam (panutan) dalam akidah. Kitabnya dalam ushul fikih dan ushuluddin sangat terkenal dan beredar. Dia memiliki pendapat yang diterima dan ditolak”. Ini adalah penilaian yang inshaf dari seorang al-Hafizh Ibn Hajar! Kedelapan: [Penutup] Komentar ar-Razi yang beliau tulis dalam kitabnya, I’tiqadat Muslimin wal
mở bài trong bài văn kể chuyện lớp 4. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Bagi para pemula yang hendak belajar fokus seputar hukum Islam, tiga istilah ini harus dikenal dan dipahami agar tak tersesat di tengah jalan. Tiga istilah rumpun ilmu ini memiliki keduudkan yang sangat penting dalam memahami hukum Islam. Tanpa mengenal jenis kelamin dari tiga rumpun ilmu ini, belajar dan mendalami hukum Islam mendekati kegagalan yang fatal. Penting untuk dipahami sebelum melangkah jauh belajar seluk beluk hukum tiga rumpun ilmu dalam kajian hukum Islam yang saling berkait kelindan satu sama lain, yakni ushul fikih, fikih, dan kaidah fikih. Umat Islam pada umumnya lebih familiar fikih dari pada dua rumpun ilmu yang lain. Alasan sederhananya karena fikih bersinggungan dalam keseharian perilaku kaum muslimin. Definisi yang mudah dipahami oleh semua kalangan bahwa fikih adalah pengetahuan tentang hukum Islam. Seluruh gerak gerik dan tindak tanduk orang mukallaf terpantau dan disorot oleh fikih. Dengan demikian, fikih merupakan panduan praktis tentang tata cara dan perilaku sehari-hari seorang muslim dalam berinteraksi secara vertikal berhubungan dengan Tuhan yang dikenal dengan ibadah, atau interaksi horizontal berhubungan dengan sesama muslim, alam, dan lingkungan yang disebut dengan muamalah dalam arti yang istilah fikih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat praktis yang diperoleh melalui proses istinbat menggali dan menelaah dari dalil-dalil syar’i. Ungkapan yang sangat populer dalam pembahasan fikih, nahnu nahkumu biddhawahir kita memutuskan dan menghukumi secara luar saja, apa yang tampak. Sehingga, fokus sorotan fikih atau objek kajiannya adalah perbuatan orang mukallaf. Oleh karena itu, yang dihukumi oleh fikih harus berbentuk perbuatan, bukan persoalan keyakinan yang menjadi garapan tauhid, atau soal rasa dzauq yang digarap oleh ilmu tasawuf. Sedangkan ushul fikih secara sederhana adalah cara atau metode yang dijadikan perantara untuk memproduksi sebuah hukum. Pengetahun tentang metode dan tata cara memproduksi hukum-hukum syar’i melalui dalilnya itu yang disebut dengan ushul fikih. Misalnya, membasuh muka dalam wudlu’ merupakan kewajiban dan salah satu unsur yang harus ada rukun. Bagaimana metode dan cara menghasilkan hukum wajib membasuh muka dalam wudlu’ itulah garapan ushul fikih. Proses apa yang harus ditempuh oleh seorang mujtahid melalui sumber-sumber hukum atau dalil-dalil syar’i sehingga menghasilkan hukum wajib. Sementara rumpun ilmu yang terakhir adalah kaidah fikih. Secara bahasa kaidah berarti rumusan yang menjadi patokan dan asas. Kaidah fikih didefinisikan sebagai ketentuan umum dominan yang dapat diterapkan terhadap kasus-kasus yang menjadi cakupannya agar kasus tersebut dapat diketahui status hukumnya. Kaidah fikih menghimpun persoalan-persoalan fikih dalam satu naungan berupa rumus dan ketentuan umum. Contoh kaidah fikih yang berbunyi keyakinan tidak bisa dikalahkan oleh keraguan. Kaidah ini mencakup setiap persoalan hukum yang terkait dengan keyakinan. Bahwa keyakinan seseorang tentang suatu perbuatan tertentu tidak dapat dikalahkan dengan munculnya disiplin ilmu di atas dipertemukan dan bersinggungan dalam satu term hukum syar’i. Secara sederhana perbedaan antara tiga rumpun ilmu tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. Ushul fikih adalah rumah produksi atau pabrik, sementara fikih merupakan produknya, sedangkan kaidah fikih adalah pengikat yang menghubungkan produk-produk yang bertebaran dan memiliki kesamaan jenis dalam produksi. Pendek kata, fikih adalah hasil atau produk, ushul fikih adalah cara proses bagaimana memproduksi, sedangkan kaidah fikih adalah media untuk menata dan mengkaitkan sekaligus merawat produk yang dihasilkan. Andaikan fikih adalah roti, maka ushul fikih adalah cara membuat roti, sementara kaidah fikih mengelompokkan jenis-jenis produk secara lebih detail antara ushul fikih dan kaidah fikih antara lain sebagai berikutUshul fikih berisi kaidah-kaidah yang dijadikan sarana untuk menggali hukum syar’i dari sumber hukum Al-Qur’an dan Hadis, sedangkan kaidah fikih berfungsi sebagai pengikat dan penghubung antara kasus-kasus fikih yang hierarkis urutan kemunculannya adalah ushul fikih sebelum fikih, sementara munculnya kaidah fikih setelah kajian ushul fikih adalah dalil-dalil syar’i, sedangkan kaidah fikih sama dengan fikih, yakni perbuatan orang fikih menggunakan pola pendekatan deduktif, sementara kaidah fikih muncul melalui pendekatan tulisan ini sengaja ditata berdasarkan urutan hierarki penggunaannya. Ushul fikih sebagai rumah produksi, fikih sebagai hasil produknya, lalu kaidah fikih yang bertugas mengelompokkan jenis-jenis produknya. Semoga dapat menyumbangkan titik terang jenis kelamin’ tiga rumpun ilmu di atas. *** Lihat Pendidikan Selengkapnya
JAKARTA - Umat Islam dewasa ini sering kali menemukan perbedaan pandangan para ulama dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi umat khilafiyah. Sebenarnya, hal yang sama juga terjadi pada masa sahabat Rasulullah SAW, para tabiin orang yang hidup sesudah generasi sahabat, tabiit-tabiin pengikut tabiin, dan ulama-ulama mengajukan argumentasi permasalahan tersebut, para ulama menggunakan dalil dan dasar hukum yang sama. Misalnya, dalam memahami konsep istithaah mampu dalam berhaji, cara berwudhu, niat dalam shalat, bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya. Mengapa bisa terjadi perbedaan itu? Bahkan, hingga ada yang saling membid'ahkan, mengafirkan, dan sebagainya. Di antara mereka, ada pula yang memisahkan dari kelompok perbedaan pandangan atau pendapat itu justru memperkaya khazanah intelektual umat Islam untuk saling memahami munculnya perbedaan itu. Pangkal muara perbedaan dari semua itu bukan karena kesalahan para ulama dalam menerjemahkan redaksi dasar dalil yang dijadikan sumber hukum, baik Alquran maupun hadis, melainkan perbedaan dalam memahami dan maksud dari dalil tersebut. Di samping itu, perbedaan ini disebabkan masalah politik, perbedaan dalam menggunakan kaidah usul fikih, atau karena tidak sampainya suatu riwayat atau hadis kepada ulama atau mujtahid mereka yang mau mengambil hikmahnya, perbedaan itu justru sangat besar manfaatnya bagi umat Islam. Sebab, mereka makin mengetahui metode atau cara para mujtahid orang yang menggali hukum Islam dalam menetapkan hukum apakah sebenarnya metode hukum Islam usul fikih itu? Muhammad Abu Zahrah, seorang ulama asal Mesir dalam bukunya Ushul Fiqih mengemukakan, metode hukum Islam disebut juga dengan usul fikih. Ilmu usul fikih adalah ilmu yang menguraikan metode atau cara yang dipakai oleh para imam mujtahid dalam menggali dan menetapkan hukum syar'i dari nash-nash Alquran ataupun hadis. Berdasarkan nash itu pula, para ulama mengambil illat alasan yang menjadi landasan hukum untuk kemashlahatan umat.''Ilmu usul fikih memiliki peran penting dalam memengaruhi pembentukan pemikiran fikih,'' jelas Abu ilmu fikih adalah suatu ilmu yang membahas hukum-hukum syara seperti wajib, sunah, makruh, halal, haram, dan mubah/boleh mengenai perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalil yang terperinci dalam nash Alquran dan hadis Nabi SAW. Ada pula yang menambahkannya dengan dalil-dalil atau pendapat ijtihad dari para ulama, seperti ijmak dan penjelasan di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa usul fikih adalah sebuah metode yang ditempuh para ulama ahli ijtihad dalam menetapkan hukum-hukum syara yang dilakukan oleh seorang mukalaf sudah dewasa atau orang yang sudah dibebani hukum, tentang halal, haram, wajib, sunah, atau makruhnya suatu perbuatan. Sedangkan, fikih adalah hasil dari hukum-hukum syar'i dari metode yang digunakan seorang Muslim diwajibkan berpuasa. Dasarnya adalah firman Allah dalam surah Albaqarah [2] 183-186. Dasar dari kewajiban shalat antara lain adalah surah Arrum 31, Almujadalah 13, dan Almuzammil 20. Dasar larangan meminum khamar yang memabukkan adalah Almaidah ayat dalil-dalil tersebut, hal itu menjadi pedoman bagi umat dalam melaksanakan segala kewajiban yang diperintahkan dan meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah mengetahui dalil-dalil tersebut, kata A Hanafie dalam bukunya Usul Fiqh, umat akan menjadi seorang pengikut yang baik karena memahami apa yang diikutinya ittiba'. Sehingga, mereka tidak menjadi seorang Muslim yang sekadar ikut-ikutan muqallid tanpa mengetahui dasar hukumnya taklid buta, yang penting ikut apa kata mereka, atau pokoknya kata si A, B, C, dan lainnya.Wajib bermazhab?Bagaimana bila umat tersebut tak mampu melakukannya secara sendirian? Bolehkah ia mengikuti pendapat atau mazhab tertentu? Sebagian kalangan ada yang melarang keras bermazhab, bahkan ada yang antimazhab. Namun, sebagian lainnya membolehkan ketika umat memang tidak mampu melakukan penggalian terhadap hukum banyaknya umat Islam yang tak mampu dalam melakukan hal tersebut, Anas Thohir Syamsuddin pernah menulis, "Bermazhab dalam arti melaksanakan dan mengamalkan hasil ijtihad para imam mujtahid, seperti Malik, Syafii, dan lainnya, itu hukumnya wajib bagi setiap orang Islam yang belum mampu melakukan ijtihad." Wallahualam. BACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini
loading... I’tidal adalah rukun salat yang ketujuh, yaitu posisi berdiri tegak lurus setelah melaksanakan ruku’. Di dalam hadis Abu Hamid as-Sa’idy yang diriwayatkan imam at-Turmudzi disebutkanكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ وَرَفَعَ يَدَيْهِ وَاعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلَّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ مُعْتَدَلاً. [رواه الترمذي]Artinya “Pernah Rasulullah SAW apabila berdiri sembahyang, kemudian beliau berkata membaca sami’allaahu li man hamidah dan beliau mengangkat dua tangannya dan berdiri tegak hingga tiap-tiap anggotanya kembali mengambil tempat masing-masing dengan lurus.” [HR. at-Tirmizi] Baca Juga Disebutkan oleh pengarang kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Dr. Wahbah az-Zuhaili, Juz I halaman 658 “Abu Yusuf dan para imam ahli fiqh yang lain berkata Bangun/bangkit dari ruku’ dan i’tidal dalam keadaan berdiri penuh tuma’ninah, baik itu rukun atau fardlu salat, yaitu ia kembali kepada keadaan semula sebelum ruku’.”Selanjutnya ada hadis yang menceritakan hal tersebut adalah pada waktu Wâil bin Hujr berkisah sebagaimana berikut iniأَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ كَبَّرَ، - وَصَفَ هَمَّامٌ حِيَالَ أُذُنَيْهِ - ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ، ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى، فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ أَخْرَجَ يَدَيْهِ مِنَ الثَّوْبِ، ثُمَّ رَفَعَهُمَا، ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ، فَلَمَّا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ فَلَمَّا، سَجَدَ سَجَدَ بَيْنَ كَفَّيْهِArtinya “Wâil bin Hujr melihat Rasulullah mengangkat kedua tangannya saat memasuki salat sembari takbîratul ihrâm. Hammâm memberikan ciri-ciri, posisi tangan Rasulullah saat mengangkat kedua tangannya adalah sejajar dengan kedua telinganya. Kemudian Rasulullah memasukkan tangan ke dalam pakaiannya, menaruh tangan kanan di atas tangan kiri. Saat Rasulullah akan ruku’, ia mengeluarkan kedua tangannya dari pakaian lalu mengangkatnya, bertakbir sembari ruku’. Pada waktu ia mengucapkan samillâhu liman hamidah, Rasul mengangkat kedua tangannya. Saat sujud, ia sujud dengan kedua telapak tangannya.” HR Muslim 401 Hadis di atas tidak menunjukkan posisi tangan Rasulullah SAW saat i'tidal, namun mengisahkan letak tangan pada waktu berdiri saja. Baca Juga Melepaskan tangan Imam Ramli dalam karyanya Nihâyatul Muhtâj menjelaskan, yang disunnahkan dalam i'tidal adalah melepaskan tangan, tidak bersedekap atau menumpukkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah dada, sehingga orang yang bangun dari ruku’ setelah mengangkat kedua tangan sejajar dengan telinga, ia kemudian melepaskan kedua tangannyaSenada dengan pendapat tersebut, Syekh Al-Bakri yang terekam dalam kitab Iânatut Thâlibîn juga mengatakan hal yang sama. “Yang paling sempurna adalah saat mengangkat kedua tangan itu dimulai berbarengan dengan mengangkat kepala. Hal tersebut berjalan terus diangkat sampai orang selesai berdiri pada posisi sempurna. Setelah itu kemudian kedua tangan dilepaskan.” Dengan demikian, Syekh Al-Bakri mengajurkan agar melepaskan tangan setelah takbir, bukan menaruh di bawah dada. Dengan begitu, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada saat i’tidal yang disunnahkan adalah melepaskan kedua tangan. Adapun apabila yang bersedekap tidak sampai membatalkan salat. Baca Juga Tidak JelasMengenai hadis Wa’il bin Hajm al-Hadlrami yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan disahihkannya itu yang dikutip dari kitab as-Sunan al-Mahjurah sunah-sunah yang ditinggalkan/dibiarkan, karangan dari Anis bin Ahmad bin Thahir itu1. Perkataan وَوَضَعَ كَفَّيْهِ meletakkan kedua pergelangan tangannya tidak jelas menunjukkan kepada bersedekap, tetapi bisa pula dipahami lurus ke bawah. Kalau dimaksudkan meletakkan tangan ke dada bersedekap, tentu bunyi hadis itu وَوَضَعَ كَفَّيْهِ فِي صَدْرِهِ dan meletakkan kedua pergelangannya ke dadanya.2. Ahli hadis Muhammad Nashiruddin al-Baniy di dalam bukunya Shifatu Shalati an-Nabiy sifat shalat Nabi pada halaman 130 menerangkan dengan kata-kata sebagai berikut… عَنِ اْلإِمَامِ أَحْمَدَ رَحِمَهُ اللهُ أَنَّهُ قَالَ “إِنْ شَاءَ أَرْسَلَ يَدَيْهِ بَعْدَ الرَّفْعِ مِنَ الرُّكُوعِ وَ إِنْ شَاءَ وَضَعَهُمَا” لِأَنَّهُ لاَ يَرْفَعُ ذَلِكَ إِلَي النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ إِنَّمَا قَالَهُ بِاجْتِهَادِهِ وَرَأْيِهِ وَالرَّأْيُ قَدْ يَخْطَئُ …Artinya “Dari Imam Ahmad semoga Allah merahmatinya diriwayatkan beliau berkata “Jika seseorang menghendaki melepaskan kedua tangannya sesudah bangkit dari ruku’ dan bila ia menghendaki boleh pula meletakkan kedua tangannya di atas dada atau bersedekap” Kemudian Nashiruddin al-Baniy berkomentar, sesungguhnya yang demikian tidak marfu’ kepada Nabi SAW. Itu adalah perkataan Imam Ahmad atas dasar ijtihad dan pendapatnya. Sedangkan pendapat itu kadang bisa salah dan keliru … ”3. Hadis Wa’il tersebut terkesan sebagai suatu sunnah yang tidak diamalkan oleh kebanyakan ulama, dan kalau kita mengikuti pendapat Imam Ahmad, maka itu tidak mengikat dan tidak bisa memaksa orang yang tidak mengikutinya. Wallahu a’lam bish-shawab.===Referensi dan muhammadiyah.
Hukum I’tidal Dalam Shalat menjadi salah satu topik yang menarik untuk dibahas. I’tidal sendiri merupakan salah satu gerakan dalam sholat yang dilakukan setelah posisi ruku’. Para ulama menetapkan ruku’ sebagai rukun shalat dengan berdasarkan kepada sabda Rasulullah SAW kepada orang yang beliau ajari shalatثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًiArtinya “Kemudian ruku’lah sampai engkau tenang tuma’ninah dalam keadaan ruku’.” HR. Imam Bukhari.I’tidal sendiri merupakan salah satu gerakan wajib dalam sholat. Hal ini berdasarkan kepada adanya pendapat Abu Hurairah menceritakan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memulai takbiratul \ ihram ketika berdiri tegak, kemudian takbir lagi ketika turun rukuk, kemudian membaca sami’allaahu liman hamidah’ ketika bangkit i’tidal” HR. BukhariAdapun beberapa ulama ada yang memikiki pendapat yang berbeda dimana ada yang mewajibkan bacaan tasmi’ ini, namun ada juga pendapat yang mensunnahkan hal tersebut. Namun, terdapat Pendapat yang kuat, mengenai bacaan tasmi’ ini wajib dibaca oleh imam, makmum, maupun orang yang shalat sendirian. Sifat shalat nabi shallallahu alaihi wa sallam, hlm. 118Berdsarkan pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa hukum i’tidal dalam sholat merupakan wajib hukumnya ditambah dengan pendapat kuat mengenai kewajiban bacaan Tasmi’ pada saat dalam posisi i’tidal. Hal ini berdasarkan kepada hadist beikut ini, dimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengangkat tangan ketika berdiri i’tidal, dengan cara yang sama ketika takbiratul ihram. HR. Bukhari dan Muslim.Namun, bukan hanya perihal hukum I’tidal saja, terlepas dari hal tersebut gerakan i’tidal juga harus dilakukan secara benar dan sesuai dengan apa yang disyariatkan. Terdapat juga hadist yang menganjurkan untuk melakukan gerakan i’tidal dalam waktu yang agak lama sebagimana dalam cara mensyukuri nikmat allah . Hal ini adalah sekaligus untuk sedikit memperlama gerakan sholat, sebab sebagimana yang sering kita lihat dan lakukan adalah malah melakukan gerakan I’tidal dengan anjuran untuk memperlama i’tidal sebagaimana yang dilakukan ketika rukuk memiliki dasar hukum sebagaimana hukum menghina lafadz Allah dan hukum mengajak orang masuk islam .Al-Barra’ bin Azib radhiyallahu anhu, mengatakan “Ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat, sujud beliau, rukuk beliau, duduk diantara dua sujud, semuanya hampir sama panjangnya.” HR. Abu DaudSelain memperlama I’tidal, dianjurkan juga agar melakukan I’tidal dalam posisi badan yang lurus. Hal ini berdasarkan kepada sabda Nabi shallallahu’ alaihi wasallam bersabda kepadanyaثم اركَعْ حتى تَطمَئِنَّ راكِعًا، ثم ارفَعْ حتى تستوِيَ قائِمًا“… lalu rukuk dengan tuma’ninah, kemudian angkat badanmu hingga lurus” HR. Bukhari 757, Muslim 397.Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ثم اركَعْ حتى تَطْمَئِنَّ راكعًا ، ثم ارْفَعْ حتى تَعْتَدِلَ قائمًا“… kemudian rukuk sampai tuma’ninah dalam rukuknya, kemudian mengangkat badannya sampai berdiri lurus” HR. Bukhari no. 793, Muslim no. 397.Berdasarkan kepada dua hadist diatas, maka kewajiban untuk melakukan I’tidal dalam posisi badan lurua adalah sangat sangat dianjurkan. Bahkan Allah Azza wa Jallla dan Rasul-Nya shallallahu’ alaihi wasallam mencela orang yang tidak melakukan i’tidal sampai lurus punggungnya padahal ia mampu seperti dalam manfaat ucapan alhamdulillah . Baik karena terlalu cepat shalatnya, terburu-buru atau karena kurang perhatian dalam urusan shalatnya. Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu’ alaihi wasallam bersabdaإن الله لا ينظرُ يوم القيامة إلى مَن لا يقيم صُلبَه بين ركوعه وسجودِه“Sesungguhnya di hari kiamat Allah tidak akan memandang orang yang tidak meluruskan tulang sulbinya di antara rukuk dan sujud” HR. Tirmidzi no. 2678, Abu Ya’la dalam Musnad-nya no. 3624, Ath Thabrani dalam Al Ausath Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah no. 2536.Adanya korelasi untuk memperlama gerakan I’tidal adalah upaya agar dapat membuat badan dalam posisi tegak lurus. Dengan demikian maka tentunya hal ini akan menjadikan gerakan I’tidal sesuai dengan apa yanh dianjurkan. Oleh sebab itu juga dengan hal ini, maka akan dapat menghindari seseorang dalam melakukan gerakan sholat dengan terburu buru. Sehingga ibadah sholat anda, akan berlangsung dengan lebih Ali bin Syaiban radhiallahu’anhu, beliau mengatakanخرَجنا حتى قدِمنا على رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ ، فبايَعناهُ وصلَّينا خلفَهُ ، فلَمحَ بمؤخَّرِ عينِهِ رجلًا ، لا يقيمُ صلاتَهُ ، – يعني صلبَهُ – في الرُّكوعِ والسُّجودِ ، فلمَّا قضى النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ الصَّلاةَ ، قالَ يا معشرَ المسلِمينَ لا صلاةَ لمن لا يقيمُ صلبَهُ في الرُّكوعِ والسُّجودِ“Kami melakukan perjalanan hingga bertemu Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam. Kemudian kami berbai’at kepada beliau lalu shalat bersama beliau. Ketika shalat, beliau melirik kepada seseorang yang tidak meluruskan tulang sulbinya ketika rukuk dan sujud. Ketika beliau selesai shalat, beliau bersabda Wahai kaum Muslimin, tidak ada shalat bagi orang yang tidak meluruskan tulang sulbinya di dalam rukuk dan sujud” HR. Ibnu Majah no. 718, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah.Dalam riwayat lain, dari Abu Mas’ud Al Badri radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu’ alaihi wasallam bersabdaلا تُجْزِىءُ صلاةٌ لا يُقيم ُالرجلُ فيها يعني صُلْبَهُ في الركوعِ والسجودِ“Tidak sah shalat seseorang yang tidak menegakkan tulang sulbinya ketika rukuk dan sujud” HR. Tirmidzi no. 265, Abu Daud no. 855, At Tirmidzi mengatakan “hasan shahih”.Ibnul Qayyim rahimahullah setelah membawakan riwayat Abu Mas’ud ini beliau mengatakanهذا نص صريح في أن الرفع من الركوع وبين السجود الاعتدال فيه والطمأنينة فيه ركن لا تصح الصلاة إلا به“Hadits ini adalah dalil tegas bahwa meluruskan punggung dan tuma’ninah dalam i’tidal itu adalah rukun dalam shalat, tidak sah shalat kecuali harus demikian” Ash Shalatu wa Ahkamu Tarikiha, 1/122.Hadist hadist diatas menegaskan bahwa meluruskan posisi punggung saat I’tidak merupakan sebuah keharusan. Sehingga kemudian munculkan hadist yang mencela apabila seorang muslim tidak meluruskan posisi punggung saat sedang melakukan posisi I’tidal . Adapun yang dimaksud dengan Tuma’ninah adalah dimana saat I’tidal kita dianjurkan untuk berada dalam posisi diam sejenak dalam waktu yang agak sekali muslim yang mengabaikan tentang perkara ini. Bahkan mereka hanya berfikir bahwa cukup dengan shalat saja sudah dapat menggugurkan kewajiban. Namun tentu saja sebagai ibadah yang wajib shalat didalamnya terdapat kaidah kaidah yang harus dilakukan . Dengan demikian maka tidak hanya dapat menggugurkan kewajiban saja namun juga akan meraih kesempurnaan dalam ibadah sebagaimana cara menghadapi musibah dalam islam .Gerakan I’tidak juga tidak hanya berlaku dalam sholat wajib. Namun juga dalam shalat sunnah gerakan I’tidal juga harus dilakukan secara benar. Dengan demikian maka tentu anda akan mendapatkan pahala yang berlimpah. Selain karena pelaksanaan sholatnya sendiri dan tentunya juga atas kebenaran dalam kaidah kaidah pelaksanaan sholat termasuk saat melakukan I’tidal yang sering kali banyak dilakukan itulah tadi mengenai hukum I’tidal dalam sholat. Semoga dapat bermanfaat.
Ada tiga ciri utama ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau kita sebut dengan Aswaja yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya Pertama, at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWTوَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian umat Islam umat pertengahan adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi ukuran penilaian atas sikap dan perbuatan manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi ukuran penilaian atas sikap dan perbuatan kamu sekalian. QS al-Baqarah 143. Kedua at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional dan dalil naqli bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Firman Allah SWTلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca penimbang keadilan supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. QS al-Hadid 25 Ketiga, al-i'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirmanيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela kebenaran karena Allah menjadi saksi pengukur kebenaran yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. QS al-Maidah 8 Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWTفَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى Maka berbicaralah kamu berdua Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepadanya Fir'aun dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. QS. Thaha 44 Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir 701-774 H/1302-1373 M ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah". Tafsir al-Qur'anil 'Azhim, juz III hal 206. Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44 1. Akidah. a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli. b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam. c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir. 2. Syari'ah a. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang je1as sharih/qotht'i. c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif zhanni. 3. Tashawwuf/ Akhlak a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam. b. Mencegah sikap berlebihan ghuluw dalam menilai sesuatu. c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani antara penakut dan ngawur atau sembrono, sikap tawadhu' antara sombong dan rendah diri dan sikap dermawan antara kikir dan boros. 4. Pergaulan antar golongan a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing. b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda. c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai. d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam. 5. Kehidupan bernegara a. NKRI Negara Kesatuan Republik Indanesia harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa. b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama. c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah. d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik. 6. Kebudayaan a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama. b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal. c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan al-muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah. 7. Dakwah a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT. b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas. c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran Muhyidin Abdusshomad Pengasuh Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember
dalam ilmu fiqih i tidal adalah