dalam proses penciptaan karya seni dibutuhkan
sebagaiprovokasi dan sekaligus sebagai kekuatan ekspresi dalam karya seni lukis tersebut, provokasi lebih bertujuan keluar diri sedangkan ekspresi lebih cenderung mengarah kepada kepuasan pribadi, penuangan perasaan dan emosi subyektif kedalam karya seni lukis.Objek lukisan yang cenderung provokatif lebih mudah memberikan provokasi ke arah yang dimaksudkan sekaligus dapat dirasakan bahwa dari
bentukvisual dan yang terakhir pemilihan konsep dan berkarya. Pada proses penciptaan karya seni rupa, ide dan penggunaan alat serta bahan sangat memengaruhi hasil akhir (Adi, 2019). Gambar 02 Penggunaan alat ukir, tatah dalam proses mencukil pada triplek (kiri), dan Acuan/matrik dari triplek sedang dicukil Foto : Sigit, 2021 B. Tahap Perenungan
Metodepenciptaan dalam proses pem-buatan kekaryaan ini, di antaranya adalah sebagai berikut : Tahapan Berkarya: Menentukan bentuk struktur karya (konstruksi) Penyusunan materi karya Evaluasi karya Finishing (Musikalitas dan Pertun-jukan) Eksplorasi: Melakukan pengamatan terhadap objek (ritual hajat buruan) yang akan diangkat ke dalam seni
31 Metode Penciptaan Karya Tugas akhir ini menggunakan metode kualitatif. Pada penelitian ini informan yang dibutuhkan datanya tokoh dari kesenian barong Sekeloa, penulis hanya mengambil Beberapa hal tersebut yang digunakan oleh penulis di dalam pembuatan karya foto komersial kesenian barong Sekeloa. Dimana penulis memvisualisasikan dari
Anggita, Nursalma Yola (2021) Self Love Sebagai Ide Dasar Penciptaan Seni Lukis. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya. Abstract. Setiap manusia pasti akan tumbuh menjadi dewasa. Dalam proses pendewasaan diri, banyak persyaratan yang harus dilakukan seperti bertanggung jawab, mandiri, mampu beradaptasi, kuat menghadapi berbagai permasalahan, dan masih banyak keharusan lain yang kadang membuat
mở bài trong bài văn kể chuyện lớp 4.
terjawab • terverifikasi oleh ahli Dalam proses penciptaan karya seni yang pertama kali harus ada => Ide dan KonsepSemoga membantu yaa D
Kompetensi yang dibutuhkan dalam penciptaan seni tidak semata mata pada keadaan ekspresif yang menitikberatkan pada kompetensi artistik semata. Kompetensi seni dibutuhkan dalam kegiatan kesenian untuk menghasilkan karya seni. Kompetensi ini hanya membutuhkan tacit knowledge dan implisit knowledge sebagai dasar dalam melaksanakan kegiatan. Namun, ketika pencipta seni mempertanggungjawabkan karyanya, baik lisan maupun tulisan, mereka membutuhkan pengetahuan eksplisit sebagai dasar. Tanpa pengetahuan eksplisit mereka tidak akan bisa mengkomunikasikan pemikiran mereka yang telah terwujud berdasarkan pengetahuan tacit dan pengetahuan implisit. Untuk itu, dukungan state of analysis dan state of describing merupakan kebutuhan yang harus diupayakan bagi siapapun yang mempelajari penciptaan seni. The competence needed in art creation is not solely on expressivity, which focuses on artistic competence alone. Artistic competence is required in creative activities to produce works of art. This competence only requires tacit knowledge and implicit knowledge as a basis for carrying out activities. However, when art creators are accountable for their work, both oral and written, they need explicit knowledge. Without explicit knowledge, they will not communicate their thoughts, which manifest based on tacit knowledge and implicit knowledge. For this reason, support for the state of analysis and state of describing is a necessity that must be pursued for anyone who studies art creation. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Senakreasi Seminar Nasional Kreativitas dan Studi Seni Vol. 2, Tahun 2020, pp. 1-9 eISSN 2722-0818 1 Kompetensi dasar penciptaan seniBambang Sunarto Prodi Seni Program Doktor Institut Seni Indonesia Surakarta, Indonesia bambangsunarto 1. Pendahuluan Dalam seminar Pengembangan Model Disiplin Seni, tahun 2013, ada makalah pendek yang membahas sumberdaya penciptaan seni. Makalah itu memuat pernyataan “potensi/kapasitas penciptaan pada dasarnya bertumpu pada training kepekaan yang manifestasinya merupakan state of expressivity dan bukan state of describing atau state of analysis” Kusumo 2013, 1. Pernyataan ini sangat serius, karena menyangkut masalah fundamental dalam pendidikan penciptaan seni. Pengertian expressivity adalah the quality or state of being expressive kualitas atau keadaan ekspresif Staff 2003, 442. Pengertian state of expressivity adalah kondisi “pikiran” untuk mencapai kualitas atau keadaan ekspresif. Pernyataan bahwa “potensi/kapasitas penciptaan pada dasarnya bertumpu pada training kepekaan yang manifestasinya merupakan state of expressivity” tentu merupakan pernyataan kebenaran yang tidak dapat dibantah. Sublim Ekspresif Analisis KEYWORDS Art creation Sublime Expressivity Analysis Description Kompetensi yang dibutuhkan dalam penciptaan seni tidak semata-mata pada keadaan ekspresif yang menitikberatkan pada kompetensi artistik semata. Kompetensi seni dibutuhkan dalam kegiatan kesenian untuk menghasilkan karya seni. Kompetensi ini hanya membutuhkan tacit knowledge dan implisit knowledge sebagai dasar dalam melaksanakan kegiatan. Namun, ketika pencipta seni mempertanggungjawabkan karyanya, baik lisan maupun tulisan, mereka membutuhkan pengetahuan eksplisit sebagai dasar. Tanpa pengetahuan eksplisit mereka tidak akan bisa mengkomunikasikan pemikiran mereka yang telah terwujud berdasarkan pengetahuan tacit dan pengetahuan implisit. Untuk itu, dukungan state of analysis dan state of describing merupakan kebutuhan yang harus diupayakan bagi siapapun yang mempelajari penciptaan seni. Basic competency in art creation The competence needed in art creation is not solely on the state of expressivity which focuses on artistic competence alone. Artistic competence is needed in artistic activities to produce works of art. This competence only requires tacit knowledge and implicit knowledge as a basis for carrying out activities. However, when art creators are accountable for their work, both oral and written, they need explicit knowledge as a basis. Without explicit knowledge they will not be able to communicate their thoughts which have become manifest based on tacit knowledge and implicit knowledge. For this reason, support for state of analysis and state of describing is a necessity that must be pursued for anyone who studies art creation. This is an open-access article under the CC–BY-SA license. Senakreasi Seminar Nasional Kreativitas dan Studi Seni ISSN 2722-0818 Vol. 2, Tahun 2020, pp. 1-9 2 Bambang Sunarto Kompetensi dasar penciptaan seniPernyataan bahwa potensi atau kapasitas penciptaan bukan bertumpu pada state of describing dan state of analysis adalah pernyataan yang harus dipahami lebih dalam dan dicermati secara hati-hati. Sebab, kata describing memiliki makna yang demikian luas. Umumnya, orang memaknai kata itu cenderung tunggal, yaitu to represent or give an account of in words Staff 2003, merepresentasikan atau memberikan penjelasan dengan kata-kata. Kata describing sesungguhnya juga bermakna to represent by a figure, model, or picture Staff 2003, merepresentasikan atau menjelaskan dengan suatu figur, model, atau gambar. Kapasitas penciptaan seni sesungguhnya justru lebih banyak bertumpu pada kompetensi describing, mendeskripsikan atau menggambarkan. Berdasarkan kompetensi itu seniman dapat merepresentasikan nilai secara simbolik melalui figur, model, atau gambar. Formulasi figur, model, atau gambar selanjutnya dirumuskan dengan menggunakan materi kata, gerak, rupa, bunyi, cerita ataupun peristiwa. Menurut Buytendijk, Gadamer dan Schiller seni adalah bahasa permainan bentuk imaji, baik imaji kata, imaji gerak, rupa, bunyi, cerita maupun peristiwa Sugiharto 2013, 53. Oleh karena itu, jika studi penciptaan seni bertumpu pada pengembangan state of describing, maka hal itu adalah masuk akal, karena describing atau penggambaran dalam seni adalah keniscayaan. Pernyataan bahwa potensi atau kapasitas penciptaan seni bukan bertumpu pada state of analysis juga perlu mendapat perhatian. Pengertian analysis sekurang-kurangnya adalah 1 the identification or separation of ingredients of a substance; 2 clarification of an expression by an elucidation of its use in discourse 3 a method of resolving complex expressions into simpler or more basic ones Staff 2003. Artinya, pengertian analisis sekurang-kurangnya adalah 1 identifikasi atau pemisahan bahan dari suatu substansi; 2 klarifikasi ekspresi dengan penjelasan penggunaannya dalam wacana 3 metode dalam menyelesaikan ekspresi kompleks menjadi yang lebih sederhana atau lebih mendasar. Oleh karena itu, pengertian state of analysis adalah kondisi pikiran untuk 1 mengidentifikasi atau memisahkan-misahkan bahan dari suatu substansi; 2 mengklarifikasi ekspresi dengan menjelaskan penggunaannya dalam wacana 3 menerapkan metode dalam mengatasi ekspresi kompleks menjadi lebih sederhana atau lebih mendasar. Jika, pendidikan penciptaan seni menolak pengembangan state of analysis, berarti menolak peserta didik untuk mengembangkan kemampuan dalam 1 mengidentifikasi atau memisahkan-misahkan bahan dari suatu substansi; 2 mengklarifikasi ekspresi dengan menjelaskan penggunaannya dalam wacana 3 menerapkan metode dalam mengatasi ekspresi kompleks menjadi lebih sederhana atau lebih mendasar. Di sisi lain, setiap upaya penciptaan seni sesungguhnya selalu berangkat dari gagasan fundamental tentang hakikat di balik realitas, bukan gagasan fundamental tentang realitas. Hakikat di balik realitas itu yang akan diekspresikan oleh seniman. Oleh karena itu, seniman agar mampu menemukan hakikat di balik realitas harus melakukan interpretasi terhadap realitas. Jadi, yang diekspresikan seniman dalam karya seni adalah hakikat, bukan realitas. Realitas bagi seni adalah objek material, sasaran, pusat perhatian, arah intensi kekuatan jiwa seniman Sunarto 2013. Di antara realitas yang tak terhingga banyaknya, seniman harus memilah dan memilih objek, untuk dijadikan sasaran. Ketika ada objek yang menjadi pusat perhatian seniman, maka objek itu menjadi momen estetik atau moment artistik bagi seniman untuk mencipta karya seni. Untuk mengekspresikan hakikat, seniman harus melakukan interpretasi terhadap berbagai realitas yang mereka pilih menjadi momen estetik. Ketika seniman melakukan interpretasi terhadap momen estetik, sesungguhnya seniman itu membutuhkan kapasitas diri berupa kompetensi state of analysis. Tanpa kompetensi itu, seniman tidak dapat bekerja, karena ia tidak mampu memilah dan memilih elemen estetik/artistik yang paling representatif terhadap hakikat yang akan ia ungkapkan melalui karya seni. Oleh karena itu, menyatakan bahwa potensi/kapasitas penciptaan seni bukan bertumpu pada state of describing atau state of analysis adalah pernyataan ceroboh yang dapat menimbulkan disorientasi dan distorsi kompetensi. Artikel ini dimaksudkan untuk mengelaborasi penciptaan seni sebagai proses kreatif seniman untuk menyatakan nilai berbekal state of expressivity. Proses itu dimulai dari Senakreasi Seminar Nasional Kreativitas dan Studi Seni ISSN 2722-0818 Vol. 2, Tahun 2020, pp. 1-9 Bambang Sunarto Kompetensi dasar penciptaan seni 3 penemuan nilai-nilai di balik realitas terpilih yang disebut dengan momen estetik. Nilai-nilai diwujudkan menjadi realitas simbolik dalam format auditif, visual, atau gabungan dari keduanya secara heuristic untuk menghasilkan ungkapan artistik yang baru. Penemuan nilai-nilai yang terkandung di dalam momen estetik adalah bekal inisiatif bagi seniman untuk mencipta karya seni yang dapat menstimulir penghayatan terhadap nilai-nilai. 2. Proses Berfikir Seniman mencipta seni tidak serta merta dan tiba-tiba muncul karya seni. Penciptaan seni selalu dibingkai dengan proses berfikir seniman, yaitu proses bekerjanya akal seniman dalam membangun abstraksi atas objek yang tergelar di hadapan kesadaran dan menjadi sasaran perhatian seniman Sunarto 2013. Kemudian, seniman mencari hubungan atau pertalian antarunsur dari objek yang diabstraksi. Menurut Ngalim Puswanti, berpikir dapat dimaknai secara luas maupun secara sempit. Berfikir dalam arti luas adalah bergaul dengan abstraksi-abstraksi. Berfikir dalam arti sempit adalah mencari hubungan atau pertalian antarabstraksi Noor 2017, 13. Kondisi berfikir seniman dalam mencipta seni juga demikian. Mereka sebelum mencipta karya juga bergaul terlebih dulu dengan abstraksi-abstraksi, kemudian mencari hubungan pertalian antarabstraksi. Sebelum berkarya, mereka bertemu dengan objek terlebih dahulu Sunarto 2013. Objek-objek itu mereka abstraksikan untuk dicari esensinya, dicari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Tahap itu merupakan upaya membangun pengertian atas objek yang tergelar di hadapan indera, pemikiran, dan kesadaran seniman. Berdasarkan pengertian atas objek, di dalam diri seniman tumbuh keyakinan dasar yang berkembang berdasarkan pengertian seniman terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalam objek yang menjadi pusat perhatian seniman. Berdasarkan keyakinan yang tumbuh di dalam diri seniman, mereka memiliki keputusan untuk berkarya. Keputusan itu mengantarkan seniman untuk mengembangkan berbagai macam gagasan, baik gagasan yang berkenaan dengan rancangan wujud empiris karya seni yang akan mereka cipta, maupun gagasan tentang makna simbolik atas rancangan wujud empirik. Ketika gagasan telah hadir di dalam imajinasi, mereka selanjutnya mencari cara atau metode untuk mewujudkan gagasan itu menjadi wujud karya seni. Setelah metode mereka terapkan, maka lahirlan karya seni yang berangkat dari pertemuan subjek seniman dengan objek yang tergelar di hadapan indera, pikiran, dan kesadaran seniman sebagai subjek Sunarto 2010; 2015; 2013. Dalam berfikir, ketika seniman menetapkan keputusan untuk berkarya, maka ia mengembangkan abstraksi kompositoris dengan membayangkan medium, vokabuler artistik, format dan tehnik garap yang akan digunakan untuk mengungkapkan makna dan nilai artistik ke dalam bentuk-bentuk artistik. Abstraksi kompositoris yang terbayangkan di dalam imajinasi itu kemudian ditransformasikan menjadi wujud empiris yang memiliki kandungan makna simbolik. Realitas kompositoris yang bersifat empiris berupa bentuk-bentuk artistik itu adalah karya seni, yang berfungsi sebagai wadah wacana nilai di balik objek yang di awal telah tergelar dihadapan indera, pemikiran dan kesadaran seniman. Upaya merumuskan abstraksi kompositoris yang terbayangkan dalam imaji menjadi realitas konkrit yang empiris karya seni mesti didukung kecakapan, kemampuan, dan kapasitas untuk menghasilkan karya seni. Ditangkapnya pengertian dari realitas objek yang menjadi pusat perhatian berupa nilai-nilai dan makna yang terkandung di balik objek, disebut dengan proses tumbuhnya keyakinan dasar. Keyakinan dasar berisi nilai-nilai yang diidealkan seniman, yang dipandang wigati, menarik, dan perlu untuk diungkap. Momen tumbuhnya kesadaran tentang nilai di balik objek yang mendorong seniman untuk berkarya disebut dengan momen estetik. Momen estetik atau momen artistik adalah pengalaman seniman yang bertautan dengan fenomena yang menstimulasi lahirnya ekspresi seni Sunjayadi 2011. Pengalaman seniman terjadi dalam dua level, yaitu tahap pengalaman batin inner experience dan pengalaman empiris outer experience Case 1996, 39. Pengalaman seniman dapat hadir secara tidak terduga, namun juga dapat distimulasi melalui berbagai macam bentuk eksplorasi. Senakreasi Seminar Nasional Kreativitas dan Studi Seni ISSN 2722-0818 Vol. 2, Tahun 2020, pp. 1-9 4 Bambang Sunarto Kompetensi dasar penciptaan seniMomen estetik muncul dalam diri individu melalui proses penghayatan terhadap fenomena atau proses persepsi dan resepsi terhadap hakikat fenomena. Proses persepsi dan resepsi merupakan respon seniman yang menekankan pada upaya pemahaman dan penerimaan nilai atau makna yang ada di balik fenomena. Sesungguhnya, peristiwa penerimaan atas nilai dan makna itu yang disebut dengan momen estetik. Momen estetik muncul di dalam diri seniman, yang eksist dalam dua peristiwa. Peristiwa pertama adalah pada saat seniman menghayati fenomena dan berusaha menemukan makna di balik fenomena. Peristiwa kedua adalah munculnya ide kreatif berdasarkan penghayatan seniman terhadap fenomena Markovic 2012, 3. Proses persepsi dan resepsi menstimulasi munculnya perasaan yang bersifat sublim. Realitas sublim mewujud sebagai kualitas kebesaran atau magnitude, baik dalam arti fisik, moral, intelektual, metafisik, maupun artistik. John Denis menyatakan bahwa realitas sublim muncul sebagai a "delight that is consistent with reason," yaitu kesenangan yang konsisten dengan akal Paul 1911, 30; Cohen 2010; Doran 2015, 126. Pencipta seni dalam aktivitas penciptaan seni tidak sekedar memindahkan realitas sublim dari hasil proses persepdi dan resepsi terhadap fenomena ke dalam bentuk konkrit karya seni. Mereka sering kali harus memilah dan memilih nilai-nilai yang terkandung dalam realitas sublim. Mereka hanya memilih nilai yang mereka anggap paling wigati, yang layak, dan yang penting yang mereka anggap perlu untuk diungkapkan. Jadi, hakikat penciptaan seni adalah manifestasi penerapan nilai-nilai wigati Jadi, hakikat penciptaan seni adalah manifestasi penerapan nilai-nilai wigati yang terpilih, yang oleh seniman diwujudkan dalam realitas simbolik yang bersifat empirik. Atau, perumusan format artistik dalam bentuk empirik yang berpijak pada nilai-nilai wigati yang ditemukan dalam momen estetik. Moment estetik tidak hanya dialami oleh seniman dalam mencipta karya seni. Momen estetik juga dapat dialami oleh siapapun yang memandang fenomena sebagai entitas yang memiliki kedalaman makna. Jadi, momen estetika hanyalah salah satu aspek dari banyak fenomena umum tentang bagaimana manusia memandang, mengetahui, dan bertindak atas dasar suatu objek tertentu sebagai stimulannya. Penciptaan seni adalah salah satu dari berbagai kemungkinan manusia dalam memandang, mengetahui, dan bertindak atas dasar stimulasi dari objek tertentu. Maka, seni sangat bergantung pada persepsi dan resepsi seniman terhadap pemahaman dan penerimaan nilai-nilai wigati. Seniman mempertimbangkan secara mendasar fenomena dan nilai-nilai di dalamnya untuk diungkapkan dengan cara-cara yang arbriter. 3. Adêg-Adêg/Paradigma Seorang seniman dalam mencipta seni berpijak pada adêg-adêg yang diidealkan sendiri. Adêg-adêg itu berperan penting untuk menyatakan nilai yang diyakini. Penggunaan kata adeg-adeg di sini diambil dari bahasa Jawa. Artinya adalah tanda baca, penanda permulaan alinea pada satu wacana Gunawan 2016, 5; Prawiroatmodjo 1972, 33; Haryono 2008, 133. Kata ini digunakan dalam penciptaan seni untuk menunjukkan bahwa karya seni adalah manifestasi wacana yang ada di dalam pikiran seniman. Pijakan seniman dalam mencipta seni adalah “wacana” dengan karakter berfikir tertentu. Wacana dan karakter berfikir itu hadir sebagai prinsip yang diidealkan. Pijakan wacana dalam karakter berfikir tertentu itu disebut adêg-adêg. Caturwati ketika menerangkan sikap seniman dalam pertunjukan Gotong Singa dan Kliningan Jaipongan juga menggunakan kata adêg-adêg Caturwati 2008, 94. Kata adêg-adêg digunakan juga untuk menunjuk posisi dan sikap dan siap berdiri dalam pencak silat Supandi 1992, 137. Jadi, kurang lebih maksud dari adêg-adêg adalah identik dengan paradigma. Paradigma adalah seperangkat konsep, manifestasi dari pola pikir khas, yang berisi kerangka teori, metode, atau standar untuk menjadi dasar kegiatan dalam tujuan tertentu Manning 2018, 135; Grune 1990, 563; Gabriel 2011, 216. Paradigma berlaku dalam proses penelitian ilmiah untuk pengembangan ilmu pengetahuan Heddy Shri Ahimsa-Putra 2007; Ahimsa-Putra 2008, dan berlaku juga dalam proses penciptaan seni untuk pengembangan dunia seni Sunarto 2013. Jadi, paradigma diterapkan dalam proses ilmiah maupun dalam proses artistik. Proses ilmiah berisi tahap-tahap penalaran dalam proses berpikir sistematis Senakreasi Seminar Nasional Kreativitas dan Studi Seni ISSN 2722-0818 Vol. 2, Tahun 2020, pp. 1-9 Bambang Sunarto Kompetensi dasar penciptaan seni 5 untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Proses artistik berisi tahap-tahap penalaran dalam sistem berfikir seniman secara merdeka untuk menghasilkan formula bentuk artistik hingga mewujudkannya secara empiris Sunarto 2013. Keduanya memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya terletak pada tujuannya, yaitu menemukan dan mewacanakan sesuatu. Perbedaannya, terletak pada prosedur dan produk temuan serta “wadah” wacananya. Proses ilmiah ditujukan untuk menemukan dan mewacanakan kebenaran sesuai paradigma yang dipilih ilmuwannya. Proses artistik ditujukan untuk menemukan dan mewacanakan salah satu atau gabungan dari dua atau tiga entitas nilai, yaitu kebaikan, keindahan, dan kebenaran sesuai perspektif yang dipilih senimannya. Hakikat paradigma adalah kumpulan konsep-konsep yang menjadi satu kesatuan konseptual. Kumpulan konsep-konsep itu membentuk kerangka pikir. Oleh karena itu, paradigma terdiri atas beberapa unsur yang merupakan satu kesatuan yang saling mendukung satu sama lain. Paradigma dalam penciptaan seni terdiri atas tujuh unsur pokok, yaitu 1 nilai-nilai, 2 keyakinan dasar, 3 kehendak berkarya, 4 model, 5 konsep, 6 metode, yang terdiri atas metode pengembangan konsep, dan metode penerapan konsep, 7 karya seni Sunarto 2013. Unsur-unsur itu akan menentukan kualitas dan wujud karya yang dicipta. Unsur pertama menunjukkan bahwa seniman dalam mencipta karya seni mesti berpijak pada nilai-nilai atas objek yang menjadi pusat perhatiannya. Penciptaan seni adalah upaya seniman menghasilkan nilai-nilai, berpijak dari nilai-nilai. Jadi pencipta seni tidak mungkin tidak berfikir nilai, baik nilai intrinsik maupun nilai ekstrinsik suatu objek. Nilai intrinsik adalah potensi atau kapasitas yang ada di “dalam diri sendiri”, atau “untuk kepentingannya sendiri” suatu objek, yang menunjukkan bahwa ia berharga karena dirinya sendiri bukan karena sesuatu yang lain Bayram 2016, 114–24. Nilai ekstrinsik sering disebut juga sebagai nilai instrumental, yaitu nilai yang dimiliki oleh sesuatu, yang menghasilkan akibat-akibat yang boleh jadi berguna sebagai alat untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan Zimmerman and Bradley 2002. Objek yang dimaksud adalah berbagai entitas yang tergelar di hadapan inderanya, pikirannya, perasaannya, dan kesadarannya. Persepsi tentang nilai-nilai menumbuhkan unsur kedua paradigma, yaitu keyakinan dasar. Unsur ini adalah keadaan pikiran seniman yang meyakini bahwa suatu objek yang tergelar di hadapannya dapat diangkat menjadi ide karya. Keyakinan boleh jadi adalah persetujuan intelektual dan emosional terhadap nilai suatu objek untuk diangkat menjadi ide karya, tanpa dilakukan pembuktian sebelumnya bahwa objek itu adalah indah, baik, dan benar. Keyakinan tumbuh karena subjek seniman menganggap bahwa objek di hadapannya adalah sesuatu yang baik, benar, dan menarik. Jadi, keyakinan dasar adalah nilai-nilai yang melatarbelakangi pemikiran dan nilai-nilai yang hendak diekspresikan sebagai ide penciptaan. Unsur ketiga adalah keinginan berkarya. Keinginan ini berisi maksud, tujuan, kecenderungan, dan kehendak mengadakan sesuatu yang belum pernah ada. Konsekuensinya, seniman melaksanakan aktivitas atistik untuk mencapai maksud yang diidamkan. Kehendak berkarya didasari 1 kesadaran atas makna dan maksud yang hendak dikerjakan dan dihasilkan, dan 2 kesadaran untuk mengekspresikan nilai-nilai secara sukarela. Unsur keempat adalah model, yaitu representasi bentuk, konstruksi, type artistik, medium, dan vokabuler secara imajinatif di angan-angan. Tahap ini, seniman telah memiliki gambaran imajinatif mengenai konstruksi seni yang akan dicipta. Boleh jadi, konstruk artistik yang diangan-angan telah lengkap, namun boleh jadi hanya memua beberapa aspek saja. Kehadiran model ini sangat penting, karena akan menjadi kerangka dasar yang tersimpan di dalam kesunyian imajinasi seniman. Unsur kelima adalah konsep. Secara umum, konsep adalah pemikiran, atau ide yang melengkapi model. Konsep mengangkat model yang masih bersifat abstrak menjadi memiliki derajat kekongkretan. Oleh karena itu, wujud konsep adalah penjelasan interpretatif terhadap konstruksi artistik yang tertuang di dalam model. Penjelasan dapat berupa gagasan medium, vokabuler artistik, tehnik garap, dan makna, sehingga rancangan artistik yang akan dicipta menjadi lengkap hakikat konseptualnya. Senakreasi Seminar Nasional Kreativitas dan Studi Seni ISSN 2722-0818 Vol. 2, Tahun 2020, pp. 1-9 6 Bambang Sunarto Kompetensi dasar penciptaan seniUnsur keenam adalah metode. Unsur ini merupakan manifestasi berfikir bebas seniman dalam mewujudkan model dan konsep. Konstruk metode sangat tergantung pada gagasan tentang medium, vokabuler artistik, tehnik garap, dan type artistik yang telah ditetapkan dalam model dan konsep. Metode dirumuskan sesuai kebutuhan artistik yang hendak dicapai. Jadi, metode penciptaan adalah strategi untuk mewujudkan model dan konsep menjadi wujud karya seni. Unsur terakhir paradigma penciptaan seni adalah karya seni, yaitu hasil kinerja seniman dalam menggarap nilai-nilai, merumuskan model dan konsep dan menerapkan metode. Karya seni adalah realitas empiris. Namun di dalamnya terkandung realitas simbolis berupa makna konotatif maupun denotatif karya seni. Makna berhubungan dengan maksud dan tujuan seniman. Namun, karena karya seni memiliki sifat multi-interpretable, maka tidak menutup kemungkinan audins dapat memaknai secara lain dari makna yang dimaksudkan oleh seniman penciptanya. Paradigma berfungsi signifikan dalam aktivitas penciptaan seni. Paradigma adalah pendekatan yang berkembang untuk mengkonstruksi model, konsep dan metode sebagai sistem artistik dengan cara yang tepat dan mencerahkan. Jadi, paradigma dapat berguna sebagai semacam teori realisasi. Konstruk artistik sebagai bahasa ungkap diasumsikan memberi karakter artistik yang bermakna. Paradigma memiliki peran penting bagi seniman dalam merumuskan konten artistik. Tanpa paradigma yang jelas, sulit rasanya menemukan kontens artistik yang bermakna. 4. Kompetensi Dasar Kompetensi adalah keterampilan yang dapat didemonstrasikan, untuk memungkinkan atau meningkatkan efisiensi dan kinerja dalam menyelesaikan pekerjaan Galagan, Hirt, and Vital 2020. Seniman dalam mencipta seni juga didasari kompetensi tertentu. Kompetensi seniman berkenaan dengan keahlian dalam mengungkap nilai melalui seni. Hakikat seni adalah formula makna atau manifestasi dari aspek kedalaman dari pengalaman manusiawi, yang dirumuskan oleh seniman. Kandungan seni bukan semata-mata keindahan melainkan juga kebenaran, yaitu kebenaran faktual-eksistensial yang mencitrakan hidup dan dunia ini Sugiharto 2013. Hakikat seni adalah puisi, inti dari hakikat jiwa dan kemanusiaan. Jadi puisi adalah ungkapan sesuatu yang substansial, yang menstimulasi penemuan kembali substansi untuk menghidupkan jiwa dan kemanusiaan. Menghidupkan jiwa dan kemanusiaan membutuhkan dasar kebenaran, yang dapat dipahami dalam tiga pengertian, yaitu sebagai anugerah, sebagai landasan, dan sebagai permulaan Heidegger 2002, 47. Kompetensi seniman dalam mencipta seni berkaitan dengan keterampilan melakukan abstraksi nilai di balik objek dan merekonstruksi nilai ke dalam bentuk-bentuk empiris. Berarti, seniman dapat mencipta karya seni memerlukan dasar pengetahuan, baik 1 pengetahuan praktis, maupun 2 pengetahuan teoretis. Pengtahuan praktis adalah pengetahuan yang bersifat preskriptif, wujudnya dalam bentuk aktivitas. Pengetahuan teoretis adalah pengetahuan hasil pemikiran kontemplatif, rasional, dan abstrak berupa analisis hubungan antar unsur dalam suatu fakta, atau hubungan antar fakta pada sekumpulan fakta-fakta Peters 1967, 60. Pengetahuan teoretis akan selalu hadir sebagai pengetahuan eksplisit. Pengetahuan praktis sering hadir dalam bentuk pengetahuan tacit dan implisit. Pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang berbentuk deklaratif. Pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang telah diartikulasikan ke dalam bahasa formal dan dapat didokumentasikan, disimpan dan disebarkan secara luas dengan mudah. Pengetahuan tacit adalah pengetahuan yang didapat dari pengalaman, tidak dalam bentuk deklaratif, dan tidak dapat diubah menjadi bentuk deklaratif. Pengetahuan implicit adalah pengetahuan yang belum dalam bentuk deklaratif, namun dapat diubah menjadi bentuk deklaratif Griffith, Sawyer, and Neale 2003, 267. Seniman mencipta karya seni lebih cenderung menggunakan dan menghasilkan pengetahuan tacit dan pengetahuan implisit. Pengetahuan teoretis cenderung termanifestasi ke dalam pengetahuan eksplisit. Sedangkan pengetahuan praktis punya kecenderungan denotatif berupa pengetahuan tacit Senakreasi Seminar Nasional Kreativitas dan Studi Seni ISSN 2722-0818 Vol. 2, Tahun 2020, pp. 1-9 Bambang Sunarto Kompetensi dasar penciptaan seni 7 dan pengetahuan implisit. Pengetahuan teoretis dan pengetahuan praktis seperti dua sisi mata uang. Keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keduanya sama pentingnya, yaitu penting untuk memahami kedua ujung spektrum. Spektrum adalah urutan atau rentang kontinuitas dalam ruang dan waktu. Keduanya dalam penciptaan seni dapat berfungsi sebagai sarana untuk mengolah kesesuaian medium, vokabuler artistik praktis, garap teknik emspresi maupun konteks dan pesan. Pengetahuan teoretis adalah pengetahuan yang melihat realitas praktis sebagai sebagai kekayaan kognitif. Pengetahuan ini dalam penciptaan seni membantu seniman untuk memahami mengapa medium, vokabuler artistik praktis, garap teknik ekspresi berhasil diterapkan sementara yang lain gagal. Teori me”maintain” dan memelihara pengalaman, sehingga dapat memberi pemahaman lebih dalam tentang suatu konsep berdasarkan pengalaman. Pengetahuan praktis juga amat sangat berharga, karena dalam penciptaan seni pengetahuan praktis adalah manifestasi keterampilan dalam menyelami dunia konkrit dalam seni. Pengetahuan ini memungkinkan pencipta seni secara praktis mengolah medium, vokabuler artistik praktis, garap teknik ekspresi. Bagian terbaik dari kompetensi praktis adalah apa pun nilai yang dianggap penting dapat diungkapkan dengan medium, vokabuler artistik praktis, garap teknik ekspresi. Aktivitas praktis untuk mengungkap nilai dalam penciptaan seni tidak mungkin mengabaikan kompetensi analisis dan kompetensi deskriptif. Kompetensi analisis adalah bekal untuk membangun konsep dan kualitas artistik terkait dengan makna yang hendak diungkap. Kompetensi deskriptif adalah bekal untuk membangun format artistik sesuai dengan model dan konsep yang ttelah mereka rumuskan. Kompetensi analisis diperlukan seniman ketika mereka membangun model dan konsep, serta mewujudkan ke dalam bentuk-bentuk empiris. Artinya, untuk mewujudkan model dan konsep mereka harus mampu mengidentifikasi kesesuaian medium, vokabuler artistik praktis, dan garap teknik ekspresi dengan realitas model dan konsep yang mereka imajinasikan. Ketika mereka mempertanggungjawabkan karya, mereka juga harus mampu melakukan analisis terhadap karya yang diciptakannya. Mereka sekurang-kurangnya harus mampu memeriksa secara rinci berbagai elemen atau struktur dari karya seni yang diciptakan. Kompetensi deskriptif tidak dapat diabaikan, karena kompetensi ini merupakan kompetensi sangat fundamental. Ketika seniman mewujudkan model dan konsep, tindakan konkrit yang tidak dapat dihidari adalah tindakan mendeskripsikan objek penciptaan ke dalam bentuk-bentuk artistik. Deskripsi itu harus sesuai dengan wacana yang dimaksudkan dalam model dan konsep, sehingga karya seni berdasarkan deskripsi itu dapat memberikan gambaran nilai tentang sesuatu yang disajikan dalam karya seni. Apalagi pengertian deskripsi describing bukan semata-mata merepresentasikan atau memberikan penjelasan dengan kata-kata, tetapi juga merepresentasikan atau menjelaskan dengan suatu figur, model, atau gambar. Ketika mencipta seni, seniman merepresentasikan nilai ke dalam bentuk yang berupa figur, model, atau gambaran. Ketika mempertanggungjawabkan karya, seniman mesti memberikan penjelasan secara analitik dengan menggunakan kata-kata. Oleh karena itu, seniman akademis mesti dapat berbahasa secara baku, karena bahasa baku merupakan bahasa yang benar sesuai kaidah bahasa. Umumnya, bahasa baku digunakan dalam bahasa tulis maupun lisan yang formal atau resmi. Untuk itu, seniman akademis mesti menguasai bahasa baku. 5. Kesimpulan Pernyataan yang menegasikan state of describing atau state of analysis dalam studi penciptaan seni akan mendegradasi kompetensi penciptaan seni terisolasi dalam pojok kesenimanan yang hanya fokus pada penguasaan kompetensi teknis artistik semata. Pencipta seni dalam mengelola medium, vokabuler artistik praktis, dan garap teknik ekspresi sesungguhnya telah merumuskan pengetahuan yang sangat berharga, yaitu berupa pengetahuan implisit. Pengetahuan implisit hanya diketahui dan disadari oleh pemilik pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan implisit hanya bermakna bagi pemiliknya saja jika tidak Senakreasi Seminar Nasional Kreativitas dan Studi Seni ISSN 2722-0818 Vol. 2, Tahun 2020, pp. 1-9 8 Bambang Sunarto Kompetensi dasar penciptaan senicoba ditransfer menjadi pengetahuan eksplisit. Ketidakmampuan seniman untuk mengubah pengetahuan implisit yang telah mereka rumuskan menjadi pengetahuan eksplisit akan menjauhkan seniman dari pergaulan intelektual yang lebih luas. Untuk itu, state of describing atau state of analysis adalah potensi atau kapasistas dasar yang harus dikuasai oleh para mahasiswa yang melakukan studi formal penciptaan seni, utamanya di level magister dan doctor. Daftar Pustaka Ahimsa-Putra, 2008. “Paradigma Dan Revolusi Ilmu Dalam Antropologi Budaya Sketsa Beberapa Episode.” Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2007. “Paradigma, Epistemologi Dan Metode Ilmu Sosial- Budaya Sebuah Pemetaan.” In , 31. Yogyakarta CRCS-UGM. Bayram, Selma A. 2016. “The Use of the Concept of Intrinsic Value in Anthropocentric and Non-Anthropocentric Approaches in Environmental Ethics A Metaethical Investigation.” Middle East Technical University. Case, Caroline. 1996. “On the Aesthetic Moment in the Transference.” Inscape 1 2 39–45. Cohen, Martin. 2010. Philosophy For Dummies. John Wiley & Sons, Ltd. West Sussex, United Kingdom. Doran, Rpbert. 2015. The Theory of the Sublime from Longinus to Kant. Cambridge University Press. Cambridge, United Kingdom. Gabriel, Yiannis. 2011. Organizing Words A Critical Thesaurus for Social and Organization Studies. Oxford; New York Oxford University Press. Galagan, Pat, Morgean Hirt, and Courtney Vital. 2020. Capabilities for Talent Development Shaping the Future of the Profession. Alexandria, VA Association for Talent Development. Griffith, Terri L., John E. Sawyer, and Margaret A. Neale. 2003. “Virtualness and Knowledge in Teams Managing the Love Triangle of Organizations, Individuals, and Information Technology.” MIS Quarterly 27 2 265–87. Grune, Dick & Ceriel J Jacobs. 1990. Parsing Techniques A Practical Guide. New Yofk, USA Horwood. Gunawan, Eko. 2016. Bahasa Jawa XB. Yogyakarta, Indonesia Deepublish. Haryono, Soewardi. 2008. Buku Pepak Basa Jawa. Yogyakarta, Indonesia Pustaka Widyatama. Heidegger, Martin. 2002. Heidegger Off the Beaten Track. Edited by Julian Kenneth Haynes Young. Cambridge, United Kingdom Cambridge University Press. Kusumo, Sardono W. 2013. “Sumber Daya’ Penciptaan Seni.” In Pengembangan Model Disiplin Seni, edited by Sugeng Nugroho, 1–2. Surakarta ISI Press. Manning, Kathleen. 2018. Organizational Theory in Higher Education. New York, USA Routledge, Taylor & Francis Group. Markovic, Slobodan. 2012. “Components of Aesthetic Experience Aesthetic Fascination,Aesthetic Appraisal, and Aesthetic Emotion.” I-Perception 3 1 1–17. Noor, Juliansyah. 2017. Metodologi Penelitian Skripsi, Tesis, Disertasi & Karya Ilmiah. Ke-7. Jakarta, Indonesia Penerbit Kencana. Paul, Harry Gilbert. 1911. John Dennis His Life and Criticism. Columbia University Press. Senakreasi Seminar Nasional Kreativitas dan Studi Seni ISSN 2722-0818 Vol. 2, Tahun 2020, pp. 1-9 Bambang Sunarto Kompetensi dasar penciptaan seni 9 Columbia, USA. Peters, Francis Edward. 1967. Greek Philosophical Terms A Historical Lexicon. New York, USA New York University Press. Prawiroatmodjo, S. 1972. Ensiklopedi Jawi Centini. Marfiah. Staff, Editorial. 2003. Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary. Edited by Frediric C. Mish. Merriam-Webster, Incorporated. 11th Editi. Springfield, Massachusetts, Merriam-Webster Incorporated. Sugiharto, Bambang. 2013. “Dasar Filosofis Disiplin Seni.” In Pengembangan Model Disiplin Seni, edited by Sugeng Nugroho, 53–58. Surakarta Penerbit ISI Press. Sunarto, Bambang. 2010. Epistemologi Karawitan Kontemporer Aloysius Suwardi. Disertasi. Yogyakarta Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. ———. 2013. Epistemologi Penciptaan Seni. Yogyakarta IDEA Press. ———. 2015. “Basic Knowledge and Reasoning Process in the Art Creation.” Open Journal of Philosophy 05 05 285–96. Sunjayadi, Achmad. 2011. “Moment Estetik Seorang Arkeolog.” Kompasiana. 2011. Zimmerman, Michael J., and Ben Bradley. 2002. “Intrinsic vs. Extrinsic Value.” Stanford Encyclopedia of Philosophy. 2002. ... Menurut Sunarto, pencipta seni adalah seniman yang berupaya menghasilkan karya seni yang berpijak pada nilai-nilai. Pencipta seni tidak mungkin tidak berfikir nilai, baik nilai intrins ik maupun nilai ekstrinsik suatu objek Sunarto, 2020. Sampai saat ini belum ada perubahan yang signifikan dengan pola ritme yang mereka mainkan, data di lapangan menunjukkan seluruh grup Rapai Pasee mengenal dan mengetahui Lagu Sa sampai Lagu DuaBlah sebagai pola ritme yang sudah pakem. ...Angga Eka KarinaSri Rochana WidyastutieningrumHerna HirzaPertunjukan Rapai Pasee adalah musik perkusi yang menampilkan pertunjukan adu pola ritme oleh dua grup musik yang tampil bersamaan dalam satu panggung. Pola ritme yang dimainkan disebut dengan Lagu. Masing-masing Lagu memiliki susunan pola ritme yang berbeda satu sama lainnya. Hal ini menarik untuk dideskripsikan dalam bentuk transkripsi musikal. Teori merujuk pada Nettl dan Seeger Chase & Nettl, 1965, Charles Seeger, 2012 mengatakan bahwa transkripsi adalah proses menotasikan bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual, atau kegiatan memvisualisasikan bunyi musik ke dalam bentuk notasi dengan cara menuliskannya ke atas kertas. Data penelitian didapatkan dengan mengamati kesenian Rapai Pasee yang dilakukan oleh Grup Putra Pasee dan Grup Raja Buah sebagai kelompok dengan persentase paling sering tampil dan juara pada kompetisi yang dilakukan di Aceh Utara. Data-data penelitian didapatkan melalui pengamatan, rekaman musik, diperkuat dengan wawancara dengan masyarakat yang terlibat dalam kesenian Rapai Pasee. Hasil yang diperoleh menjelaskan bahwa transkrispi musikal secara deskriptif terdiri dari Lagu Sa, Lagu Dua, Lagu Lhee, Lagu Limoeng, Lagu Tujoh, Lagu Sikureung dan Lagu Duablah secara detail menurut apa yang ditangkap oleh indera pendengaran peneliti dengan maksud untuk menyampaikan ciri-ciri dan detail-detail komposisi musik Rapai Pasee. Selma Aydın BayramThe concept of intrinsic value is one of the most disputed concepts of ethics, and in particular, environmental ethics. The traditional approaches towards nature are anthropocentric, attributing intrinsic value merely to human beings. Nowadays, environmental philosophers mostly try to distance themselves from anthropocentric attitudes, and they introduce ethical reasons, which do not consider nature merely instrumentally valuable. In general, environmental ethicists are prone to appeal to the concept of intrinsic value’ to justify the necessity of enlarging the scope of moral concern. For this reason, in this dissertation, I aimed to clarify the role of the concept of intrinsic value’ in environmental ethics and I present a metaethical analysis of this concept within v anthropocentric and non-anthropocentric approaches. I discuss whether intrinsic value exists independently of a valuer, and specifically a human valuer, examining what ethicists mean by intrinsic value’ and what they mean when they call something intrinsically valuable’. In light of these discussions, contrary to defenders of objective value, like Moore, I defend the view that there would not be a value independently of a valuer and attribution of a value is a subjective act. I express that the subjective act of attributing value is related to the agent, but it need not be always for-agent’s-own sake. In other words, what I mean with intrinsic value’ is not the value that is in-itself’ owned by an object because of the object’s intrinsic properties; but the value ascribed to something for-its-own-sake’, not for sake of consequences it might bring. Besides, on the basis of moral contractarianism and depending on Y. S. Lo’s “dispositional theory” grounded on Hume’s moral philosophy, I assert that subjectively attributed values can be universalized. Bambang SunartoBasically, process in the art creation is supported by three pillars of existence, namely 1 activity, 2 method, and 3 knowledge. In the application of activities, methods, and knowledge are always accompanied by the reasoning of the creators of art. Reasoning is used to obtain formulation of practical knowledge, productive knowledge, and theoretical knowledge of an object. The creators in directing its attention to the target of creation use a set of logically interrelated concepts, supported by reasoning in varied models. Substance of reasoning contains of several elements, confidence, the will to work, models, concepts, methods of concept application and the artwork. The mastery of reasoning and the material elements of reasoning are important issues in the development of pillars of artwork creation. Slobodan MarkovićIn this paper aesthetic experience is defined as an experience qualitatively different from everyday experience and similar to other exceptional states of mind. Three crucial characteristics of aesthetic experience are discussed fascination with an aesthetic object high arousal and attention, appraisal of the symbolic reality of an object high cognitive engagement, and a strong feeling of unity with the object of aesthetic fascination and aesthetic appraisal. In a proposed model, two parallel levels of aesthetic information processing are proposed. On the first level two sub-levels of narrative are processed, story theme and symbolism deeper meanings. The second level includes two sub-levels, perceptual associations implicit meanings of object's physical features and detection of compositional regularities. Two sub-levels are defined as crucial for aesthetic experience, appraisal of symbolism and compositional regularities. These sub-levels require some specific cognitive and personality dispositions, such as expertise, creative thinking, and openness to experience. Finally, feedback of emotional processing is included in our model appraisals of everyday emotions are specified as a matter of narrative content eg, empathy with characters, whereas the aesthetic emotion is defined as an affective evaluation in the process of symbolism appraisal or the detection of compositional technology can facilitate the dissemination of knowledge across the organization— even to the point of making virtual teams a viable alternative to face-to-face work. However, unless managed, the combination of information technology and virtual work may serve to change the distribution of different types of knowledge across individuals, teams, and the organization. Implications include the possibility that information technology plays the role of a jealous mistress when it comes to the development and ownership of valuable knowledge in organizations; that is, information technology may destabilize the relationship between organizations and their employees when it comes to the transfer of knowledge. The paper advances theory and informs practice by illustrating the dynamics of knowledge development and transfer in more and less virtual DoranIn this book, Robert Doran offers the first in-depth treatment of the major theories of the sublime, from the ancient Greek treatise On the Sublime attributed to 'Longinus' and its reception in early modern literary theory to the philosophical accounts of Burke and Kant. Doran explains how and why the sublime became a key concept of modern thought and shows how the various theories of sublimity are united by a common structure - the paradoxical experience of being at once overwhelmed and exalted - and a common concern the preservation of a notion of transcendence in the face of the secularization of modern culture. Combining intellectual history with literary theory and philosophical analysis, his book provides a new, searching and multilayered account of a concept that continues to stimulate thought about our responses to art, nature and human Dan Revolusi Ilmu Dalam Antropologi Budaya Sketsa Beberapa EpisodeH S Ahimsa-PutraAhimsa-Putra, 2008. "Paradigma Dan Revolusi Ilmu Dalam Antropologi Budaya Sketsa Beberapa Episode." Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, CohenCohen, Martin. 2010. Philosophy For Dummies. John Wiley & Sons, Ltd. West Sussex, United Words A Critical Thesaurus for Social and Organization StudiesYiannis GabrielGabriel, Yiannis. 2011. Organizing Words A Critical Thesaurus for Social and Organization Studies. Oxford; New York Oxford University Press.
Ilustrasi menciptakan sebuah karya seni rupa. Foto PixabayDalam penciptaan sebuah karya seni, proses kreatif memiliki peranan penting. Proses kreatif berperan sebagai tindakan yang menyebabkan hadirnya karya seni rupa, yang memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan jenis karya seni buku Representasi Kesadaran Budaya Lokal Perupa dalam Penciptaan Karya Seni Rupa karangan Ernawati, dkk 2017 03, proses kreatif seni rupa adalah sebuah proses yang bermula dari adanya ide imajinatif yang diolah dalam benak ide imajinatif tersebut diwujudkan menjadi karya seni rupa yang estetik dan artistik. Seseorang yang memiliki ide imajinatif disebut sebagai manusia imajinatif, dan jika ia mampu mewujudkan imajinasinya menjadi karya nyata, disebut sebagai manusia apa saja tingkatan proses kreatif seni rupa yang membuat seni rupa menjadi karya seni yang cukup unik dibandingkan dengan karya seni lainnya? Simak uraian lengkapnya berikut sebuah karya seni rupa yang memiliki ciri khas tersendiri, memerlukan proses kreatif, Foto PixabayTingkatan Proses Kreatif Seni RupaKekreatifan dalam seni rupa seringkali dipandang sebagai sesuatu yang misterius. Sebab, secara alamiah, beberapa orang akan mengungkapnya idenya yang orisinal dan spontan, dalam bentuk karya seni rupa seperti gambar maupun Irving A Taylor dalam buku Pengetahuan Dasar Seni Rupa karya Sofyan Salam dkk 2020 13, berikut tingkatan proses kreatif seni rupa yang dikategorikan menjadi lima tingkat, di antaranya sebagai ekspresif adalah bentuk proses kreatif dalam penciptaan karya seni rupa yang terjadi secara spontan. Dalam mewujudkan karya seni rupa yang menarik, ide kreatif yang muncul datang secara tiba-tiba dan tidak terencana sama produktif adalah bentuk proses kreatif dalam penciptaan karya seni rupa, yang ditunjukkan pada kemampuan teknis seseorang dalam menghasilkan sebuah karya. Kekreatifan ini diperoleh setelah seseorang melewati pelatihan teknis, sehingga menjadikannya sebagai seseorang yang kreatif seni rupa berasal dari sebuah ide imajinatif penciptanya. Foto PixabayKekreatifan inventif adalah bentuk proses kreatif dalam penciptaan karya seni rupa, yang tidak sekadar menunjukkan keterampilan teknis, tetapi juga terlihat adanya suatu penjelajahan. Penjelajahan ini berujung pada sebuah inovasi atau penemuan seperti alat-alat, bahan, hingga teknik inovatif adalah bentuk proses kreatif dalam penciptaan karya seni rupa yang memiliki tingkat orisinalitas lebih tinggi daripada kekreatifan inventif. Kekreatifan ini menunjukkan bahwa sebuah karya seni rupa dapat memiliki dua fungsi sekaligus. Misalnya, selain memiliki fungsi praktis, karya seni juga dapat berfungsi sebagai benda yang Kekreatifan EmerjenatifKekreatifan emerjenatif adalah bentuk proses kreatif yang paling orisinal dan levelnya setara dengan para pemenang Nobel dalam bidang Sains. Kekreatifan ini hanya dimiliki orang-orang jenius. Hal ini ditunjukkan oleh tokoh pelopor lahirnya berbagai aliran dalam seni rupa, beberapa di antaranya, yaituGustave Courbet RealismeHenry Matisse EkspresionismeSalvador Dali SurealismeApa yang dimaksud dengan kekreatifan ekspresif?Apa yang dimaksud dengan kekreatifan produktif?Apa yang dimaksud dengan kekreatifan inventif?
Ilustrasi seniman menciptakan karya seni rupa murnia dengan menggabungkan aspek konseptual dan aspek visual. Foto PixabaySeni rupa murni merupakan pengungkapan pikiran dan perasaan seniman, yang hasil karyanya semata-mata hanya memberikan kepuasan batiniah atau rohaniah. Tujuan pokok penciptaan seni rupa murni adalah untuk kepentingan estetis, tanpa disertai fungsi seni rupa murni adalah kegiatan menciptakan sebuah karya seni untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan pengalaman kehidupan, menjadi perwujudan visual yang dilandasi kepekaan buku Pelajaran Seni Budaya SMA Kelas X karya Drs. Sumardi dkk 2010 14, terdapat dua aspek dalam penciptaan karya seni rupa murni, yaitu aspek konseptual dan aspek aspek konseptual memfokuskan penciptaan karya seni rupa murni yang mengarah kepada sebuah gagasan atau ide. Lalu, bagaimana dengan aspek visual dalam proses penciptaan seni rupa murni? Agar lebih memahaminya, simak uraian lengkapnya berikut visual dalam proses penciptaan seni rupa murni berhubungan dengan wujud karya seni yang dapat dinikmati oleh indera manusia. Foto PixabayAspek Visual dalam Proses Penciptaan Seni Rupa MurniAspek visual dalam karya seni rupa murni adalah aspek yang berhubungan dengan wujud karya seni rupa itu sendiri dan dapat dinikmati oleh indra manusia. Mengutip dalam buku Apresiasi Seni Rupa dan Seni Teater oleh Drs. Margono, dkk 2007 71, aspek visual dalam proses penciptaan seni rupa murni dibagi menjadi tiga macam, yaituSubject matter adalah permasalahan yang menjadi pokok penciptaan suatu karya seni. Subject matter diletakkan dalam aspek visual, agar dapat menjelaskan atau menghubungkan antara aspek konseptual penciptaan, dengan penggambarannya secara matter juga disebut sebagai tema karya seni rupa yang akan diciptakan. Misalnya, tema sosial tentang kemiskinan, akan menggunakan objek pengemis. Sementara itu, tema perjuangan kemerdekaan digunakan pahlawan sebagai tersebut dapat divisualisasikan dengan beberapa cara. Adapun caranya, yaituMemilih unsur-unsur seni rupa murni yang akan digunakan grafis, warna, tekstur, bidang, volume, ruang.Menyesuaikan dengan kebutuhan interes seni dan interes dengan prinsip estetika yang telah ditetapkan dalam aspek adalah salah satu contoh karya seni rupa murni. Foto PixabayKomposisi rupa berisi pengaturan dari berbagai prinsip seni rupa murni yang digunakan untuk penciptaan sebuah karya. Unsur-unsur seni rupa dikelola sedemikian rupa, untuk selanjutnya diatur dengan prinsip tertentu. Ada empat prinsip pokok yang dibutuhkan untuk mengelola unsur-unsur seni rupa tersebut, di antaranya yaitu proporsi, keseimbangan, irama, dan kesatuan untuk memperlihatkan karakteristik dan keunikan pribadi pencipta karya seni tersebut. Dalam penciptaan karya seni rupa murni, karakteristik atau ciri khas pencipta seni merupakan faktor bawaan, yang menandai sifat unik sebuah karya yang diciptakan. Gaya pribadi akan lebih terlihat, apabila kebebasan berekspresi diberikan, sehingga nampak keberagaman gaya seni yang sesuai kepribadian sang seniman/pencipta karya seni. Sebagai contoh, Raden Saleh, Basoeki Abdullah dan S. Soedjojono, adalah sesama pelukis dengan gaya realisme. Namun, karya-karya mereka akan sangat berlainan, karena unsur gaya pribadi yang dimilikiya. Karya Raden Saleh menghadirkan suasana dramatis aristokratis, karya Basoeki Abdullah memperlihatkan idealisasi keindahan yang permai, sedangkan karya S. Soedjojono menghadirkan suasana heroisme dan tujuan pokok penciptaan seni rupa murni?Ada berapa aspek dalam penciptaan karya seni?Apa maksudnya aspek konseptual dalam penciptaan karya seni?
dalam proses penciptaan karya seni dibutuhkan