dengan mengikuti tuntunan rasul manusia akan

Jika kamu mendengar seruan muadzdzin, hendaklah kamu mengucapkan bacaan seperti yang diserukan muadzdzin, kemudian membacakan shalawat atasku satu kali, niscaya Allah akan memberikan rahmat sepuluh kali lipat padanya atas bacaan shalawatnya itu, kemudian mohonlah wasilah kepada Allah untukku, karena ia merupakan suatu tempat di dalam surga yang tidak pantas ditempati kecuali oleh seorang hamba dari hamba-hamba Allah, dan aku berharap bahwa akulah yang kelak akan menempatinya. 11] Dalam tafsir Al Jalalain diterangkan, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang menyembah berhala, ketika mereka mengatakan Kami tidak menyembah berhala kecuali karena cinta kepada Allah, agar mereka (berhala-berhala) itu mendekatkan kami kepada-Nya, maka Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ mengatakan kepada mereka apa yang disebutkan di atas, yakni perintah mengikuti Beliau; dengan mentauhidkan Allah (hanya beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala) dan meninggalkan Laluia duduk di hadapan Rasulullah dan menyandarkan lututnya pada lutut Rasulullah dan meletakkan tangannya diatas paha Rasulullah, selanjutnya ia berkata," Hai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam " Rasulullah menjawab,"Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Alloh dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Alloh, engkau mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Romadhon dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya." Ayatayat dan hadits-hadits tersebut di atas telah menegaskan akan wajibnya mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beramal. Barang siapa yang beramal tidak sesuai dengan tuntunan Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam maka amalannya akan ditolak alias tidak diterima, meskipun amalannya besar, meskipun amalan itu telah membudaya di kalangan kaum muslimin ataupun amalan tersebut kelihatannya menurut kaca mata sebagian orang baik. Pendek kata yang harus dijadikan Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan [ikhlas] kepada-Nya dalam [menjalankan] agama yang lurus " (Al-Bayyinah [98]: 5). Kedua, ibadah yang dikerjakan tidak dibuat-buat sendiri, melainkan karena sudah dicontohkan Rasulullah SAW, sebagaimana tergambar dalam sabda beliau: mở bài trong bài văn kể chuyện lớp 4. Alhamdulillah hamdan katsiron thoyyiban mubarokan fih kamaa yuhibbu Robbuna wa yardho, wa asyhadu alla ilaha illallah wahdahu laa syarika lah wa asy-hadu anna Muhammadan abduhu wa rosuluh. Allahumma sholli ala Nabiyyina Muhammad wa ala alihi wa shohbihi wa sallam. Saudaraku yang semoga selalu mendapatkan taufik Allah Ta’ala. Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah penutup para Nabi, tidak ada Nabi lagi sesudah beliau. Beliau shallallahu alaihi wa sallam memiliki kedudukan yang mulia dengan syafa’at al uzhma pada hari kiamat kelak. Itulah di antara keistimewaan Abul Qosim, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Seorang muslim punya kewajiban mencintai beliau shallallahu alaihi wa sallam lebih dari makhluk lainnya. Inilah landasan pokok iman. Saudaraku, itulah yang harus dimiliki setiap muslim yaitu hendaklah Nabinya lebih dia cintai dari makhluk lainnya. Mari kita simak bersama firman Allah Ta’ala, قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ “Katakanlah Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” QS. At Taubah 24. Ibnu Katsir mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.” Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 4/124. Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasul dari makhluk lainnya adalah wajib. Bahkan tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan pada nabinya. Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan beliau memegang tangan Umar bin Khaththab –radiyallahu ’anhu-. Lalu Umar –radhiyallahu ’anhu- berkata, لأنت أحب إلي من كل شيء إلا من نفسي ”Ya Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, لا والذي نفسي بيده حتى أكون أحب إليك من نفسك ”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya imanmu belum sempurna. Tetapi aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, فإنه الآن والله لأنت أحب إلي من نفسي ”Sekarang, demi Allah. Engkau Rasulullah lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, الآن يا عمر ”Saat ini pula wahai Umar, imanmu telah sempurna.” HR. Bukhari [Bukhari 86-Kitabul Iman wan Nudzur, 2-Bab Bagaimana Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersumpah] Al Bukhari membawakan dalam kitabnya Bab Mencintai Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam adalah bagian dari iman. An Nawawi membawakan dalam Shahih Muslim Bab-Wajibnya Mencintai Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam lebih dari kecintaan pada keluarga, anak, orang tua, dan manusia seluruhnya. Dalam bab tersebut, Anas bin Malik mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ “Salah seorang di antara kalian tidak akan beriman sampai aku lebih dia cintai daripada anaknya, orang tuanya bahkan seluruh manusia.” HR. Bukhari dan Muslim Semua Cinta Butuh Bukti Cinta bukanlah hanya klaim semata. Semua cinta harus dengan bukti. Di antara bentuk cinta pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah ittiba’ mengikuti, taat dan berpegang teguh pada petunjuknya. Karena ingatlah, ketaatan pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah buah dari kecintaan. Penyair Arab mengatakan لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقاً لَأَطَعْتَهُ إِنَّ المُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعٌ Sekiranya cintamu itu benar niscaya engkau akan mentaatinya Karena orang yang mencintai tentu akan mentaati orang yang dicintainya Cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bukanlah dengan melatunkan nasyid atau pun sya’ir yang indah, namun enggan mengikuti sunnah beliau. Hakikat cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah dengan mengikuti ittiba’ setiap ajarannya dan mentaatinya. Semakin seseorang mencintai Nabinya maka dia juga akan semakin mentaatinya. Dari sinilah sebagian salaf mengatakan لهذا لما كَثُرَ الأدعياء طُولبوا بالبرهان ,قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ Tatkala banyak orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk mendatangkan bukti. Allah Ta’ala berfirman yang artinya ”Katakanlah Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. Ali Imron 31 Seorang ulama mengatakan لَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تُحِبَّ وَلَكِن الشَّأْنُ أَنْ تُحَبْ Yang terpenting bukanlah engkau mencintai-Nya. Namun yang terpenting adalah bagaimana engkau bisa dicintaiNya. Yang terpenting bukanlah engkau mencintai Nabimu. Namun yang terpenting adalah bagaimana engkau bisa mendapatkan cinta nabimu. Begitu pula, yang terpenting bukanlah engkau mencintai Allah. Namun yang terpenting adalah bagaimana engkau bisa dicintai-Nya. Lihat Syarh ’Aqidah Ath Thohawiyah, 20/2 Allah sendiri telah menjelaskan bahwa siapa pun yang mentaati Rasul-Nya berarti dia telah mentaati-Nya. Allah Ta’ala berfirman, مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا “Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling dari ketaatan itu, maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” QS. An-Nisa’ 80 Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga memerintahkan kita untuk berpegang teguh pada ajarannya. Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits, فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ “Berpegangteguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk dalam ilmu dan amal. Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban. At Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targhib wa At Tarhib no. 37 Salah seorang khulafa’ur rosyidin dan manusia terbaik setelah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu anhu mengatakan, لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ إِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ “Tidaklah aku biarkan satupun yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam amalkan kecuali aku mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan menyimpang.” HR. Abu Daud no. 2970. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa atsar ini shohih Itulah saudaraku di antara bukti seseorang mencintai nabinya –shallallahu alaihi wa sallam- yaitu dengan mentaati, mengikuti dan meneladani setiap ajarannya. Kebalikan dari Cinta Dari penjelasan di atas terlihat bahwa di antara bukti cinta adalah mentaati dan ittiba’ pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Berarti kebalikan dari hal ini adalah enggan mentaatinya dan melakukan suatu ibadah yang tidak ada ajarannya. Karena sebagaimana telah kami jelaskan di muka bahwa setiap orang pasti akan mentaati dan mengikuti orang yang dicintai. Dari sini berarti setiap orang yang melakukan suatu ajaran yang tidak ada tuntunan dari Nabinya dan membuat-buat ajaran baru yang tidak ada asal usulnya dari beliau, walaupun dengan berniat baik dan ikhlash karena Allah Ta’ala, maka ungkapan cinta Nabi pada dirinya patut dipertanyakan. Karena ingatlah di samping niat baik, seseorang harus mendasari setiap ibadah yang dia lakukan dengan selalu mengikuti tuntunan Nabinya shallallahu alaihi wa sallam. Itulah yang engkau harus pahami saudaraku, sebagaimana engkau akan mendapati hal ini dalam perkataan Al Fudhail berikut. Al Fudhail bin Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah, لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” QS. Al Mulk [67] 2, beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab mencocoki tuntunan Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” Lalu Al Fudhail berkata, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mencocoki ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.” Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 19 Perkataan Fudhail di atas memiliki dasar dari sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda, مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” HR. Muslim no. 1718 Itulah saudaraku yang dikenal dengan istilah bid’ah. Amalan apa saja yang tidak mengikuti tuntunan beliau shallallahu alaihi wa sallam akan tertolak, walaupun yang melakukan berniat baik atau ikhlash. Karena niat baik semata tidaklah cukup, sampai amalan seseorang dibarengi dengan megikuti tuntunan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Perkataan Fudhail di atas hampir serupa dengan perkataan Ibnu Rajab Al Hambali. Beliau rahimahullah mengatakan, “Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama tanpa izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali.” Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77 Setelah kita mengetahui muqodimah di atas, sekarang kita akan menelusuri lebih jauh, apakah betul cinta Nabi harus dibuktikan dengan mengenang hari kelahiran beliau dalam acara maulid Nabi sebagaimana yang dilakukan sebagian kaum muslimin? Silakan simak pembahasan dalam posting selanjutnya. -Bersambung insya Allah pada posting selanjutnya- Seri Pertama dari Tiga Tulisan Antara Cinta Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan Maulid Nabi Oleh Muhammad Abduh Tuasikal Baca Juga Inilah Faedah Bagi yang Mencintai Nabinya Teladan Sahabat dalam Mencintai Nabi Di antara tujuan Allah mengutus para rasul adalah menyampaikan risalah kepada umat manusia yang menjadi tanggung jawab mereka. Hal itu terekam dalam kitab-kitab ilmu tauhid yang menjelaskan empat 4 sifat wajib para rasul, yaitu shidiq benar dalam semua pekerjaan, ucapan dan tindakannya, amanah jujur dalam setiap apa yang disampaikan, tabligh menyampaikan setiap risalah yang menjadi tanggung jawab, fathanah cerdas dalam pribadinya. Sebagai manusia pilihan, tentu semua tindakan para rasul selalu sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah. Karenanya, kita sebagai manusia mempunyai kewajiban mengikuti semua teladan yang dicontohkan oleh para rasul, kecuali yang Allah khususkan bagi mereka. Allah berfirman قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ Artinya, “Katakanlah Muhammad, Jika Kalian mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mencintai kalian’.” QS. Ali Imran 31 Dalam ayat lain disebutkan وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ Artinya, “Ikutilah dia, agar kamu mendapat petunjuk.” QS. Al-A’raf 158 Dua ayat di atas menunjukkan kewajiban mengikuti semua teladan yang dicontohkan oleh para rasul, kewajiban itu telah final tanpa dipertentangkan oleh para ulama, baik mutaqaddimin klasik maupun muta’akhirin kontemporer. Ulama sepakat tanpa khilaf bahwa mengikuti jejak langkah utusan-utusan Allah sesuai dengan zamannya berhukum wajib. Kewajiban mengikuti para rasul juga menjadi dalil secara pasti atas terjaganya jiwa Nabi Muhammad shallallâhu alaihi wasallam dan rasul lainnya dari setiap perbuatan maksiat dan dosa. Mereka bahkan terjaga dari semua pekerjaan yang hukumnya makruh. Semua teladan yang dicontohkan oleh mereka berputar pada perbuatan yang berhukum wajib, sunnah dan mubah. Semua itu ketika dipandang dari sisi perbuatannya, tanpa memandang faktor lain yang bisa mempengaruhi hukum pekerjaan tersebut. Misalnya makan, ketika dipandang dari sisi pekerjaannya maka berhukum mubah, namun bisa menjadi sunnah bahkan wajib ketika disertai faktor lain yang mengubah hukum asalnya. Sedangkan ketika memandang dari faktor-faktor yang lain, yaitu, faktor yang bisa mengubah hukum asal dari sebuah pekerjaan mubah menjadi sunnah awarid maka semua pekerjaan para rasul hanya berada dalam hukum wajib dan sunnah saja. Syekh Muhammad Ad-Dasuqi mengatakan وَأَمَّا لَوْ نَظَرَ اِلَيْهِ بِحَسَبِ عَوَارِضِهِ فَالْحَقُّ أَنَّ أَفْعَالَهُمْ دَائِرَةٌ بَيْنَ الْوُجُوْبِ وَالنَّدْبِ لاَ غَيْرُ، لِأَنَّ الْمُبَاحَ لاَ يَقَعُ مِنْهُمْ Artinya, “Jika memandang dari faktor lain yang mempengaruhi hukum dari pekerjaan para rasul maka yang benar adalah semua pekerjaan para rasul hanya berputar dalam hukum wajib dan sunnah, bukan yang lain, karena pekerjaan yang hukumnya mubah tidak pernah terjadi pada mereka.” Muhammad Ad-Dasuqi, Hâsyiyatud Dasûqi ala Ummil Barâhain, [Maktabah Imam, Surabaya 2000], halaman 182. Menurut Syekh Ad-Dasuki, semua utusan Allah tidak pernah melakukan pekerjaan-pekerjaan yang hukumnya mubah, karena semua pekerjaan tidak dilakukan dengan kehendak dirinya sendiri syahwat, namun setidaknya disertai dengan niat mendekatkan diri kepada Allah. Atau bisa juga dengan tujuan mencontohkan sebuah syariat tasyri’ kepada umatnya. Dengan tujuan itu, secara otomatis menjadikan semua pekerjaan-pekerjaan mereka termasuk dari ajaran ta’lim kepada umatnya. Dengannya, semua teladan para rasul yang awalnya berhukum mubah akan menjadi bernilai ketaatan di sisi Allah disebabkan tujuan mulia tadi. Sedangkan melakukan ketaatan kepada Allah mempunyai hukum setidaknya sunnah. Berkaitan dengan penjelasan di atas, Syekh Az-Zarnuji menyampaikan sabda Rasulullah shallallâhu alaihi wasallam كَمْ مِنْ عَمَلٍ يُتَصَوَّرُ بِصُوْرَةِ أَعْمَالِ الدُّنْيَا وَيَصِيْرُ بِحُسْنِ النِّيَةِ مِنْ أَعْمَالِ الْأَخِرَةِ Artinya, “Betapa banyak suatu pekerjaan yang bernilai dunia mubah, namun disebabkan baiknya niat menjadi pekerjaan akhirat mendapatkan pahala.” Az-Zarnuji, Ta’limul Muta’allim, [Bairut, Darul Kutub 2000], halaman 4. Semua pekerjaan dan ucapan yang disampaikan para rasul tidak lepas dari pantauan-Nya secara langsung. Seolah Allah menghendaki para utusan-Nya tidak pernah melakukan kesalahan sedikit pun. Toh jika memang melakukannya, Allah akan menegurnya secara langsung. Seperti Nabi Muhammad shallallâhu alaihi wasallam tidak pernah mengatakan suatu apa pun dengan kehendaknya sendiri setelah diangkat menjadi nabi. Begitu pun para rasul lain. Allah berfirman وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى، إنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى Artinya, “Dan tidaklah diucapkannya itu Al-Qur’an menurut keinginannya. Tidak lain Al-Qur’an itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” QS. An-Najm 3-4 Menurut ulama ahli tafsir, ayat ini menyatakan tentang terjaganya lisan Rasulullah shallallâhu alaihi wasallam dari segala hawa nafsu dan tujuan yang salah. Ia tidaklah berbicara kecuali dengan apa yang diwahyukan kepadanya dari Allah. Ia juga tidak pernah mengatakan kecuali apa yang diperintahkan kepadanya, kemudian menyampaikannya kepada umatnya secara utuh dan sempurna, tanpa pengurangan maupun penambahan. Para rasul yang oleh Allah diberi mandat sebagai uswah teladan bagi umat manusia di muka bumi selalu menampakkan etika, pekerjaan, ucapan, dan semua perbuatannya dengan penampilan yang baik. Analoginya begini. Para rasul Allah di muka bumi merupakan manusia pilihan yang Allah pilih untuk menyampaikan risalah kenabian. Mereka datang sebagai sosok penyelamat manusia dari kebodohan dan kesesatan menuju kehidupan berilmu dan hidayah. Dengannya Allah memerintahkan semua makhluk untuk menjadikan para rasul sebagai teladan yang dijadikan panutan. Tentu jika para rasul melakukan kesalahan, baik yang hukumnya makruh atau khilaful aula, maka umatnya juga dituntut melakukan pekerjaan-pekerjaan tidak baik itu. Sedangkan yang dinamakan ketaatan hanyalah untuk perbuatan baik tanpa menyalahi syariat sedikit pun. Maka tidak logis jika pembawa risalah dari Allah memerintahkan sebuah keburukan. Ad-Dasuqi, Hâsyiyatud Dasûqi, halaman 181. Sebab itu, semua perbutan yang dicontohkan para rasul tidak ada yang berhukum haram, makruh, khilaful aula maupun mubah, karena Allah memerintahkan manusia untuk mengikuti semua jejak langkah yang dicontohkan oleh mereka tanpa harus diperinci. Seolah Allah hendak menyampaikan bahwa semua tindakan para rasul adalah baik dan harus diikuti tanpa mengomentari dan memerinci. Semua perbuatan jika sudah dilakukan oleh para rasul maka menunjukkan perbuatan itu baik, kecuali beberapa perbuatan tertentu yang Allah khususkan bagi mereka, maka tidak dianjurkan diikuti. Bahkan haram bagi manusia lain untuk mengikutinya. Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur.

dengan mengikuti tuntunan rasul manusia akan