di kuil penyiksaan orde baru
Dansetelah melalui penyiksaan demi penyiksaan, de Molay mengakui segala ritual bidah yang dilakukan oleh Ordo Templar. Pada tahun 1312, Ordo Knight of Templar dilarang dan dibubarkan. Dan atas perintah Gereja dan Raja , dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1314, para pimpinan Templar dihukum mati, termasuk Jacques de Molay, salah satu Grand
ReadPDF Neraka Rezim Suharto Misteri Tempat Penyiksaan Orde Baru Margiyono Untuk melanggengkan kekuasaannya, rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto membungkam lawan politik dengan segala cara. Salah satunya melalui penangkapan dan penculikan yang berakhir di tempat-tempat penyiksaan. Jadilah di tanah
mở bài trong bài văn kể chuyện lớp 4. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori mengisahkan tokoh Biru Laut, seorang mahasiswa Sastra Inggris UGM yang juga merupakan aktivis prodemokrasi yang tergabung dalam kelompok Winatra. Laut merupakan salah satu aktivis yang diculik dan "dihilangkan".Saking cintanya saya dengan novel ini, mulailah aksi stalking dan berseluncur di internet. Demi mendapat pencerahan atas banyaknya pertanyaan saya. Saya menemukan beberapa fakta yang tidak ternyata kisah dalam novel ini terinspirasi dari penculikan aktivis di pengujung masa orde baru. Dari penculikan yang diungkap, ada sembilan aktivis yang telah dibebaskan, satu aktivis ditemukan meninggal, dan tiga belas lainnya dinyatakan hilang dan belum ada kejelasan hingga kini. Kejadian-kejadian di novel ini ditulis berdasarkan kisah dari para aktivis yang selamat, keluarga korban yang ditinggalkan, dan pihak-pihak lain yang bersinggungan dengan tragedi kemanusiaan ini. Pantas saja, rentetan peristiwa di sini terasa begitu hidup dan nyata. Diskusi sembunyi-sembunyi, buku-buku yang dilarang, sampai aksi pengejaran mahasiswa oleh intel. Begitupun saat penculikan, mulai dari datangnya para aparat, proses penyiksaan dan interogasi, hingga pembebasan para aktivis diceritakan begitu yang nggak kalah menarik dari cerita ini adalah, saya jadi kepo abis sama tragedi penculikan aktivis itu. Seperti yang saya sebutkan diatas, banyak tokoh yang sebenarnya terinspirasi dari tokoh nyata. Penulis menyatakan, satu tokoh dalam novel ini merupakan gabungan dari dua atau tiga tokoh sekaligus. Tapi menurut saya, ada beberapa tokoh yang dominan dan bisa kita tebak siapa sebenarnya dia di dunia nyata. 1 Biru Laut. Tokohnya yang merupakan Sekjen Winatra dan penulis, sudah jelas mirip dengan Nezar Patria, salah satu korban penculikan yang selamat. Ia merupakan mahasiswa yang aktif menulis dan Sekjen Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi SMID, organisasi mahasiswa yang dilarang di masa orde baru. Kisah penculikan di rusun dan penyiksaannya juga menjadi rujukan kisah Nezar pernah bekerja di Tempo, dimana ia bekerja bersama Leila, dan diminta menceritakan kisah penculikannya nyaris tanpa sensor yang dimuat dengan judul "Di Kuil Penyiksaan Orde Baru".Jujur saja, keputusan Nezar untuk menjadi wartawan ini menurut saya sih keren. Tipe yang menghindari konfrontasi politik dan memilih jalan yang beraroma perjuangan. Kali ini, perjuangannya bukan dengan aksi, tapi menulis. 1 2 3 Lihat Humaniora Selengkapnya
Sore itu, saya memberanikan diri bertandang ke Rumah Bengawan Solo, usai mengikuti diskusi buku Laut Bercerita yang ditulis oleh Leila S Chudori. Sekedar informasi untuk Sahabat Boombastis Saboom, buku baru Leila S Chudori ini bercerita tentang carut-marut tragedi 1998—pemberontakan mahasiswa diikuti tragedi penculikan dan penghilangan paksa 9 dari 22 orang di antara mereka. Salah satu dari korban hilang bernama Petrus Bima Anugerah. Di ruang diskusi itulah saya pertama kali bertemu dengan orangtua korban penculikan 1998 tersebut di Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya Malang. Lalu saya bertanya, “apa boleh sowan ke rumah Bengawan Solo?” Mereka menyilakan saya dengan hangat. Dari sinilah saya mulai mengenal lebih dekat siapa Petrus Bima Anugerah dan keluarganya yang tetap setia menanti di Rumah Bengawan Solo selama 20 tahun. Mengenal Petrus Bima Anugerah Siapa Petrus Bima Anugerah? Pasti pertanyaan tersebut yang pertama kali terbersit di pikiran Saboom sekalian. Ia adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga Surabaya, angkatan 1993. Lahir di Malang, 24 September 1973, anak kedua dari empat bersaudara Dionysius Utomo Rahardjo dan Genoveva Misiati. Rumah Bengawan Solo Dia melakukan apa untuk Indonesia, kok kita harus mengenalnya? Ini pasti menjadi pertanyaan kedua Saboom sekalian. Jika saya menyebut Munir, kalian pasti sudah tahu lah ya bagaimana kisahnya. Ternyata, di balik Munir masih ada 22 aktivis pemberontakan rezim kejam Orde Baru yang menerima perlakuan tidak adil dan kekerasan. Mereka telah berjasa membuat Indonesia cukup aman dan bebas menyampaikan pendapat seperti saat ini. Mereka bukan hanya tak diadili rezim penguasa, bahkan hilang tanpa kabar sampai sekarang. Di Kuil Penyiksaan Orde Baru dan Laut Bercerita Merujuk artikel yang ditulis Nezar Patria, di majalah Tempo edisi khusus Soeharto berjudul Di Kuil Penyiksaan Orde Baru, tahun 1998 ia pindah dari Yogyakarta ke Rumah Susun Klender, Jakarta Timur bersama tiga orang teman, Aan Rusdiyanto, Mugiyanto, dan Petrus Bima Anugerah. Mereka anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi SMID. Bimo—panggilan akrab Petrus Bima Anugerah menjabat sebagai Koordinator Divisi Pendidikan, Agitasi, dan Propagada di SMID. Dionysius Utomo dan Laut Bercerita Novel Laut Bercerita karya Leila S Chudori mengambil kisah Bimo sebagai tokoh Biru Laut yang tak gentar melawan kekejian Orde Baru. Pemuda ini selalu saja rindu masakan rumah yaitu gulai tengkleng, yang belakangan diketahui sebenarnya sayur lodeh, ungkap Pak Tomo, ayahnya. Dalam novel tersebut dikisahkan dengan mendalam bagaimana mereka berempat diculik oleh Tim Mawar di bawah naungan Kopassus untuk disiksa dipukuli, dipaksa berbaring di balok es, serta disetrum sambil diinterogasi. Apa yang tertulis dalam novel persis dengan apa yang disampaikan Nezar Patria dalam artikelnya. Surat terakhir Bimo untuk keluarga di Rumah Bengawan Solo Dari awal saya menyebut Bengawan Solo, mungkin Saboom sekalian merujuk pada sungai terpanjang di Indonesia itu. Bukan, bukan, Bengawan Solo yang dimaksud adalah salah satu nama jalan di Malang, tempat tinggal Bimo. Rumah Bengawan Solo berada di pojokan gang kecil. Rumah mungil dengan papan nama D. Utomo, nomor 20. Saya disambut hangat dengan suguhan air putih yang menyegarkan tenggorokan ketika tercekat menyimak kesaksian demi kesaksian orangtua Bimo. Paduan kehangatan dan kesegaran yang bermakna. Surat Terakhir Petrus Bima Anugerah Pak Tomo membeberkan surat-surat Bimo, karikatur, serta potret terakhir yang tersimpan rapi di Rumah Bengawan Solo. Hal yang terasa paling ironis yaitu saat menyimak selembar surat terakhirnya, saya bilang, “mas Bimo detil sekali ya bu,” sebab di akhir tulisan tangan itu Bimpet berjanji akan pulang pada Paskah, April 1998. Ternyata setelah 20 tahun berlalu, keluarga Bimo tak pernah lagi merayakan Paskah dengan lengkap. Janji Jokowi saat kampanye Sebelum terdapuk sebagai presiden, Jokowi sempat mengundang Pak Tomo dan beberapa keluarga orang-orang yang dihilangkan secara paksa, tergabung dalam Ikatan Orang Hilang Indonesia IKOHI, untuk berdiskusi. Kala itu Pak Tomo hadir antara lain bersama Fitri Nganthi Wani—putri pertama Wiji Thukul yang juga korban penghilangan paksa pada era rezim Orde Baru. Mereka berpikir akan mendapat sedikit angin segar dari Jokowi. Apa Kabar Janji Jokowi Selayaknya politikus yang berjanji, Jokowi menyatakan akan mengulas kembali dan mencari korban hilang dalam kasus pelanggaran HAM ’65, ’78, serta ’98. “Simpelnya, orang hilang ya dicari, tapi enggak tahu bakal ditemukan atau tidak,” ungkap Pak Tomo pasrah. Beliau hampir selalu mendapat pertanyaan yang sama tanpa titik-terang. Menjelang masa akhir jabatan Jokowi ini pun, IKOHI belum mendapat kepastian atas janji empat tahun lalu. “Melawan Lupa,” pesan bagi kids zaman now terkait sejarah negara ini Sekarang kita bisa bebas berkomentar, menjadi netizen yang julita jaya dan maha benar, namun sadarkah kita berkat Bimo dan kawan-kawan hak tersebut bisa kita dapat. Maka dari itu, sudah menjadi kewajiban kids zaman now untuk melawan lupa dan lebih jauh mempelajari bagaimana Indonesia bisa mencapai kemudahan dan kebebasan seperti yang kita kecap sekarang. Bimo Petrus Belum Pulang Pak Tomo dengan rendah hati menyatakan banyak terima kasih pada penggiat media, serta Leila S Chudori khususnya yang telah melahirkan kisah bangsa Indonesia di tahun 1998. For your information, sebelum Laut Bercerita terbit, penulis asal Malang, Ratna Indraswari Ibrahim juga mengangkat kisah serupa dalam novel berjudul 1998. Hanya dengan membaca dan terus merawat memori tersebut, kids zaman now tentu tak segan bertindak jikalau kejadian tersebut terulang di Indonesia. Jangan sampai! Amit-amit, Saboom. Perjuangan keluarga Bimo di Rumah Bengawan Solo untuk menanti kehadiran putra mereka memang tak mudah. Tak sedikit dipandang sebelah mata oleh tetangga. Ibu Genoveva berpesan pada saya sebelum pamit, “yang kami butuhkan selama ini hanya satu, kepastian. Kalau memang masih ada sekarang ada di mana? Kalau memang sudah tidak ada, mbok yo dikasih tahu kapan dan kena apa, biar kita bisa mendoakan.” Hari ini, tepat 20 tahun yang lalu Bimo dinyatakan hilang, Rumah Bengawan Solo pun tetap merayakan Paskah, tanpa kehadirannya.
Di Kuil Penyiksaan Orde Baru Senin, 4 Februari 2008 Ada perintah pada masa Orde Baru, untuk menculik sejumlah aktivis mahasiswa. Empat orang dari mereka yang diculik belum kembali sampai hari ini. Wartawan Tempo Nezar Patria, pada 1997 adalah aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi yang menjadi satu dari korban penculikan yang selamat. Berikut adalah pengalamannya . tempo 168676532061_ PERerakan antikediktatoran. Saat itu, Maret 1998, politik Indonesia sedan... Berlangganan untuk lanjutkan membaca. Kami mengemas berita, dengan cerita. Manfaat berlangganan Tempo Digital? Lihat Disini PILIHAN TERBAIK Rp Aktif langsung 12 bulan, Rp *Anda hemat -Rp *Dijamin update hingga 52 edisi Majalah Tempo Rp Aktif setiap bulan, batalkan kapan saja *GRATIS untuk bulan pertama jika menggunakan Kartu Kredit Lihat Paket Lainnya Sudah berlangganan? Masuk DisiniDaftar TempoID untuk mendapatkan berita harian via email. Newsletter Dapatkan Ringkasan berita eksklusif dan mendalam Tempo di inbox email Anda setiap hari dengan Ikuti Newsletter gratis. Konten Eksklusif Lainnya 11 Juni 2023 4 Juni 2023 28 Mei 2023 21 Mei 2023 Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.
Laut Bercerita adalah novel yang lahir diilhami dari tulisan pengalaman nyata jurnalis Nezar Patria di majalah Tempo, Februari 2008, berjudul Di Kuil Penyiksaan Orde Baru. Tulisan itu menyoroti peristiwa penculikan aktivis mahasiswa pada penghujung akhir kekuasaan Orde Baru dengan Nezar Patria sendiri sebagai salah satu korban. Bertolak dari tulisan kesaksian Nezar, Leila Chudori kemudian mewawancarai banyak narasumber selaku korban, seperti Nezar Patria, Rahardja Waluya Jati, Mugiyanto Sipin, Budiman Sudjatmiko, Wilson Obrigados, Tommy Aryanto, Robertus Robet, Ngarto F., Lilik Usman Hamid, dan Haris, Azhar. BACA JUGA Sebut Kabareskrim dan Eks Kapolda Kaltim Terima Suap Tambang Ilegal, Hendra Tunggu Aja Ismail Bolong kan Sedang Dicari Novel yang telah dicetak ulang lebih dari lima puluh tiga kali untuk edisi soft cover dan lima kali edisi hard cover serta telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, baru-baru ini memperoleh penghargaan Book of The Year pada perhelatan Indonesia International Book Fair 2022, diselenggarakan Ikatan Penerbit Indonesia IKAPI. Sebelumnya, novel setebal x + 382 halaman ini memperoleh penghargaan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Novel ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama, dipaparkan dari sudut pandang Biru Laut, mahasiswa UGM asal Solo yang mengisi hari-hari di samping kuliah, dengan menjadi aktivis, fokus kepada persoalan politik, pendampingan korban kekerasan aparat dan kesewenang-wenangan negara. Aktivitas Biru Laut dan kawan-kawan dianggap subversif. Mereka kemudian diburu-buru sehingga harus bersembunyi, menyamar, menggelandang di mana-mana sampai akhirnya tertangkap. Periode penangkapan sekaligus penyekapan menjadi masa horor, tatkala berbagai jenis penyiksaan disetrum, dicambuk, dipukuli, ditelanjangi kemudian dipaksa tidur di atas balok-balok es, dan sebagainya harus Biru Laut dan kawan-kawan terima demi menjawab pertanyaan penting siapa aktor yang berdiri di balik gerakan aktivis dan mahasiswa, saat itu? Bagian kedua, dituturkan dari sudut pandang Asmara Jati, satu-satunya adik perempuan Biru Laut bagaimana dia dan keluarganya menjalani hari ke hari dengan terus menyunggi tanda tanya besar di mana Biru Laut berada? Bagaimana keadaannya? Hidup atau matikah dia? BACA JUGA Ketua RT Kompleks Ferdy Sambo Sakit, Sidang Obstruction of Justice Hendra dan Agus Ditunda Pekan Depan Membaca novel ini dan menyebarkan muatan isi di dalamnya adalah ikhtiar menyebarkan salah satu kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di Indonesia, yang hingga kini tak jelas kelanjutan penanganannya? Novel Laut Bercerita ini juga merekam sebagian kecil kesewenang-wenangan pemerintah Orde Baru yang nyaris tak demokratis dalam menjaga dan melanggengkan kekuasaan diktator militeristiknya. Video yang Mungkin Anda Suka.
Di dalam mobil, mata saya ditutup kain hitam. Lalu mereka menyelubungi kepala saya dengan seibo itu. Saya juga merasa mereka melakukan hal yang sama pada Aan. Dompet saya diperiksa. Sial, mereka mendapat KTP saya dengan nama asli. “Wah, benar, dia Nezar, Sekjen SMID!” teriak salah satu dari mereka. Di mobil, mereka semua bungkam. Kaca tertutup rapat. Lagu house music diputar berdebam-debam. Lalu kendaraan itu melesat kencang, dan berhenti sejam kemudian. Tak jelas di daerah mana. Terdengar suara handy talkie mencicit, “Merpati, merpati.” Agaknya itu semacam kode mereka. Rupanya, mereka meminta pintu pagar dibuka. Mata kami masih tertutup rapat saat digiring masuk ke ruangan itu. Pendingin udara terasa menusuk tulang. Terdengar suara-suara orang, mungkin lebih dari 10 orang. Saya didudukkan di kursi. Lalu, mendadak satu pukulan melesak di perut. Setelah itu, menyusul bertubi-tubi tendangan. Satu terjangan keras mendarat di badan, sampai kursi lipat itu patah. Bibir terasa hangat dan asin. Darah mengucur. Setelah itu, saya dibaringkan ke velbed. Tangan kiri diborgol dan kaki diikat kabel. Mereka bertanya di mana Andi Arief, Ketua Umum SMID. Karena tak puas dengan jawaban, alat setrum mulai beraksi. Dengan garang, listrik pun merontokkan tulang dan sendi. “Kalian bikin rapat dengan Megawati dan Amien Rais, kan? Mau menggulingkan Soeharto kan?” tanya suara itu dengan garang. Absurd. Saat itu, kami mendukung Mega-Amien melawan kediktatoran. Tapi belum pernah ada rapat bersama dua tokoh itu. Saya tak banyak menjawab. Mereka mengamuk. Satu mesin setrum diseret mendekati saya. Lalu, kepala saya dijungkirkan. Listrik pun menyengat dari paha sampai dada. “Allahu akbar!” saya berteriak. Tapi mulut saya diinjak. Darah mengucur lagi. Satu setruman di dada membuat napas saya putus. Tersengal-sengal. Saya sudah setengah tak sadar, tapi masih bisa mendengar suara teguran dari seorang kepada para penyiksa itu, agar jangan menyetrum wilayah dada. Saya merasa sangat lelah. Lalu terlelap. ENTAH pukul berapa, tiba-tiba saya mendengar suara alarm memekakkan telinga. Saya tersentak. Terdengar suara Aan meraung-raung. Ini mungkin kuil penyiksaan sejati, tempat ritus kekerasan berlaku tiap menit. Alarm dibunyikan tiap kali, bersama tongkat listrik yang suara setrumannya seperti lecutan cambuk. Saya juga mendengar jeritan Mugiyanto. Rupanya, dia “dijemput” sejam setelah kami ditangkap. Hati saya berdebar mendengar dia dihajar bertubi-tubi. Sekali lagi, mereka ingin tahu apa betul kami terlibat konspirasi rencana penggulingan Soeharto. Selama dua hari tiga malam, kami disekap di tempat itu. Penyiksaan berlangsung dengan sangat metodis. Dari suara alarm yang mengganggu, pukulan, dan teror mental. Pernah, setelah beberapa jam tenang, mendadak kami dikejutkan tongkat listrik. Mungkin itu tengah malam atau pagi hari. Tak jelas, karena mata tertutup, dan orientasi waktu hilang. Selintas saya berpikir bahwa penculik ini dari satuan profesional. Mereka bilang, pernah bertugas di Aceh dan Papua segala. Klik. Suara pistol yang dikokang yang ditempekan ke pelipis saya. “Sudah siap mati?” bisik si penculik. Saat itu mungkin matahari sudah terbenam. Saya diam. “Sana, berdoa!” Kerongkongan saya tercekat. Ajal terasa begitu dekat. Tak seorang keluarga pun tahu bahwa hidup saya berakhir di sini. Saya pasrah. Saya berdoa agar jalan kematian ini tak begitu menyakitkan. Tapi “eksekusi” itu batal. Hanya ada ancaman bahwa mereka akan memantau kami di mana saja. Akhirnya kami dibawa ke suatu tempat. Terjadi serah-terima antara si penculik dan lembaga lain. Belakangan, diketahui lembaga itu Polda Metro Jaya. Di sana kami bertiga dimasukkan ke sel isolasi. Satu sel untuk tiap orang dengan lampu lima belas watt, tanpa matahari dan senam pagi. Hari pertama di sel, trauma itu begitu membekas. Saya takut melihat pintu angin di sel itu. Saya cemas, kalau si penculik masih berada di luar, dan bisa menembak dari lubang angin itu. Ternyata semua kawan merasakan hal sama. Sepekan kemudian, Andi Arief kini Komisaris PT Pos Indonesia diculik di Lampung. Setelah disekap di tempat “X”, dia terdampar juga di Polda Metro Jaya. Sampai hari ini, peritiwa itu menjadi mimpi buruk bagi kami, terutama mengenang sejumlah kawan yang hilang dan tak pernah pulang. Mereka adalah Herman Hendrawan, Bima Petrus, Suyat, dan Wiji Thukul. Setelah reformasi pada 1998, satu regu Kopassus yang disebut Tim Mawar sudah dihukum untuk kejahatan penculikan ini. Adapun Dewan Kehormatan Perwira memberhentikan bekas Danjen Kopassus Letnan Jenderal Prabowo sebagai perwira tinggi TNI. Prabowo mengaku hanya mengambil sembilan orang. Semuanya hidup, dan sudah dibebaskan. Pada 1999, majalah ini mewawancarai Sumitro Djojohadikusumo, ekonom dan ayah kandung Prabowo. Dia mengatakan penculikan dilakukan Prabowo atas perintah para atasannya. Siapa? “Ada tiga Hartono, Feisal Tanjung, dan Pak Harto,” ujar Sumitro. Lalu kini apakah kami, rakyat Indonesia, harus memaafkan Soeharto? Doa saya untuk kawan-kawan yang belum atau tidak kembali. [Nezar Patria TEMPO] Post Views 4,817
di kuil penyiksaan orde baru